Belajar dari Palungan Sebuah Refleksi Natal
Palungan? Sebuah kata yang tidak asing lagi bagi hampir mayoritas umat Kristen di dunia. Palungan adalah sebuah benda yang identik dengan perayaan Natal. Kalau boleh dirunut, palungan adalah tempat pertama yang disinggahi Yesus di dunia ini.
Barangkali palungan menjadi sesuatu yang begitu istimewa, sampai Yesus yang adalah Tuhan mau dilahirkan di tempat semacam itu. Tetapi nyatanya tidak. Dia tidak spesial, bahkan sebagian besar kita pasti tidak ingin berada di dekatnya. Dia berisi makanan-makanan sisa, karena itu adalah tempat makan dan minum hewan ternak. Dan karena palungan berada di kandang domba, sudah pasti baunya juga akan seturut dengan kandang domba yang bau, lembab, dan pasti kotor.
Belajar dari Palungan
Yesus dilahirkan dan terbaring di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi Yusuf dan Maria untuk melahirkan di rumah penginapan. Setelah melakukan perjalanan yang panjang dari Nazaret ke Betlehem, mereka akhirnya harus menerima kenyataan bahwa bayi ini harus dilahirkan di kandang domba.
Palungan adalah tanda ketersisihan dari tempat yang wajar. Yesus, seorang bayi harus lahir di kandang domba, di sebuah palungan. Jauh dari hingar bingar kemewahan dan pandangan masyarakat umum, di mana seorang bayi dilahirkan di klinik atau rumah yang layak. Ibu mana yang ingin melahirkan di tempat seperti itu dan meletakkan bayi kesayangannya di tempat seperti itu?
Semua ini mengisyaratkan solidaritas Yesus dengan mereka yang terpaksa lahir atau bertempat tinggal di tempat-tempat yang tidak wajar, di kolong-kolong jembatan, pedalaman desa, bahkan gubug-gubug reyot.
Palungan sebagai tanda ketersisihan itu juga mengisyaratkan solidaritas Yesus dengan mereka yang tidak mendapatkan tempat di dalam kehidupan bermasyarakat, karena faktor status sosialnya atau karena keadaan ekonominya. Atau karena keadaan fisik atau suku bangsanya.
Lebih dari itu, palungan sebagai tanda ketersisihan juga mengingatkan kita bagaimana Ia mau datang di tempat yang hina dan kotor. Kita adalah manusia yang berdosa, hidup kita penuh dengan noda dan cela. Namun, Ia datang. Ia menghampiri kita. Allah yang begitu mengasihi kita rela memberikan Anak-Nya sendiri sebagai penebusan dosa kita.
Palungan juga mengajak kita untuk mempersiapkan diri menerima kedatangan Yesus. Seperti palungan, hidup kita kotor, bau, dan tidak pantas untuk dikunjungi. Apakah kita layak untuk menerimanya? Tidak. Ia yang melayakkan kita. Itulah karunia Allah. Hadiah terbesar dalam kehidupan kita. Dan sudah sepatutnya kita mensyukurinya di dalam kehidupan kita.
sumber gambar palungan: BlogSpot
2 thoughts on “Belajar dari Palungan Sebuah Refleksi Natal”