Berani Berbeda
Pernah merasakan saat kita menjadi satu-satunya yang berbeda? Seluruh anggota kelas janjian memakai pakaian putih, sedangkan kita memakai pakaian batik. Atau saat seluruh undangan dalam suatu acara berpakaian resmi, lalu kita memakai polo-shirt. Rasanya canggung. Canggung dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti kurang mahir atau tidak terampil, kurang enak dipakai; tidak mudah digunakan: merasa tidak senang (tidak bebas); atau kaku. Kita kikuk atau tidak senang karena menjadi satu-satunya orang yang berbeda. Wajar, karena sampai hari ini menjadi berbeda selalu diidentikkan atau dianggap aneh. Dan tidak ada orang yang mau dianggap aneh.
Sejak remaja bahkan hingga dewasa muda, kita dihadapkan pada kenyataan untuk tampil berbeda. Kita meniru gaya berpakaian, potongan rambut, jurusan kuliah, hingga pekerjaan yang sesuai dengan mayoritas kelompok kita. Akibatnya, kita sulit mengambil keputusan dan mudah terbawa. Kita juga takut menyatakan pendapat dalam forum atau rapat. Kita tidak berani berbeda karena menganggap berbeda itu buruk.
Berani Berbeda karena itu hal yang baik
Di dalam Alkitab, kita tentu tahu kisah mengenai tiga orang pemuda yang berani berbeda. Di negara Babel, Sadrakh, Mesakh, dan Abednego berani tampil berbeda dengan tidak menyembah patung dewa emas. Seluruh hadirin yang datang diwajibkan untuk menyembah patung emas yang dibuat raja. Namun, ketiga pemuda ini menolak dengan tegas kepada raja, “Tidak ada gunanya kami memberi jawab kepada tuanku dalam hal ini. Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu” (Daniel 3:16-18).
Raja kemudian sangat marah. Ketiga pemuda itu pun dihukum dengan melemparkannya ke perapian. Api! Berani berbeda kini seharga nyawa mereka sendiri. Ajaibnya, mereka tidak terbakar sedikitpun, padahal para pegawai yang melemparkan mereka sudah mati karena begitu panasnya perapian itu. Raja terkaget-kaget dan meminta mereka untuk segera keluar dari perapian, “Pujilah Allah yang disembah Sadrakh, Mesakh, dan Abednego” (Daniel 3:28, BIMK). Selanjutnya, kita juga belajar mengenai kisah Daniel yang juga berani berbeda dengan tetap berdoa kepada Tuhan setiap hari. Ia kemudian dilempar ke gua singa semalaman. Namun, ajaib! Tuhan Allah menyelamatkan dia dengan menutup mulut singa-singa tersebut.
Menjadi berbeda adalah sebuah keputusan dengan konsekuensi dan resikonya. Mungkin kita adalah satu-satunya karyawan yang beragama tertentu di kantor kita. Tidak ada yang tidak berbeda di dunia ini, karena pada dasarnya masing-masing kita adalah pribadi unik yang diciptakan oleh Tuhan.
Indonesia juga dikenal sebagai negara yang penuh perbedaan dan keragaman. Ribuan pulau yang berbeda-beda membuat kita memiliki banyak bahasa, budaya, adat, dan kebiasaan yang berbeda-beda. Karena tiap orang berbeda, kita jadi belajar untuk saling menghormati dan menghargai perbedaan. Kita menghargai suku, agama, ras, kebiasaan, atau perilaku orang lain. Selanjutnya, kita jadi belajar untuk saling melengkapi. Ternyata meskipun dia beragama lain, dia sangat baik dan mau mentraktir saya makan siang. Ia juga mau menunggu saat saya harus menunaikan ibadah wajib saya. Ah, indahnya perbedaan. Jadi, mengapa takut berani berbeda?