Saat membaca mengenai bekal makan terakhir seorang anak di Kompasiana, yaitu Kisah Obento Terakhir Yuki (Kapan Orang Jepang Harus Mulai Mandiri?), pikiran saya teringat kepada bekal terakhir yang orangtua saya berikan saat saya masih sekolah di SMA Kanisius. Mungkin enam tahun yang lalu. Hari-hari itu adalah hari-hari terakhir saya datang dan belajar di sekolah menjelang Ujian Akhir Nasional (UAN) dan juga Ujian Akhir Sekolah (UAS). Saya tidak tahu kapan tanggal persisnya, namun kalau boleh mengira-ngira, mungkin sekitar Maret 2010.
Adik bahkan pernah menuliskan kenangan mengenai bekal makan siang. Saya masih ingat betul saat saya dan Abang pergi ke sekolah pagi-pagi buta, membawa tas yang berat karena banyaknya buku pelajaran, dan juga tas bekal. Tas bekal itu biasa kami pegang bergantian sepanjang perjalanan menuju sekolah naik kendaraan umum. Tas bekal bewarna merah dan hijau itu berisi 3 buah tupperware yang disusun di bagian bawah dan sebuah kotak bekal bewarna ungu di atasnya, lalu ada resleting untuk menutupnya. Bekal makan siang dan minum inilah yang saya dan abang nikmati untuk makan siang di SMP.
Bekal Makan Siang
Bekal makan siang yang saya dan Abang bawa isinya biasa saja, hanya nasi putih dan lauk-pauk. Lauknya sendiri terkadang telur dadar, daging arsik, ikan teri, atau rendang. Jarang sekali ada sayur-sayuran. Itu karena biasanya bekal makan siang yang dibawa adalah lauk yang dimasak Mama semalam sebelumnya. Hanya sesekali saja ada sayur ketika Mama memasak mie goreng.
Selama SMA, adik dan saya terus membawa bekal makanan. Mama atau Papa bergantian menyiapkannya setiap pagi. Adik dan saya masing-masing membawa satu tupperware makanan, dan 2 tupperware air minum. Selama di Kanisius, ada banyak teman yang membawa bekal juga, jadi saya tidak merasa malu makan bekal di kelas. Namun, kisah adik agak berbeda, mungkin lebih baik Anda membacanya di sini. Waktu terus berjalan, enam tahun berlalu sejak kami membawa bekal pertama kali, hingga akhirnya saya tiba di hari terakhir kami membawa bekal. Saya masih datang ke Kanisius memang setelah setelah Ujian Nasional dan Ujian Sekolah, namun tidak lagi membawa bekal, karena saya berkunjung hanya sebentar, untuk mengurus beberapa surat saja.
Kini saya dan adik berada jauh dari orangtua, tentu kami juga tidak lagi membawa bekal. Kami tinggal membeli di kantin kantor atau kampus. Namun, membaca kembali kisah bekal makan siang (obento) Yuki mengingatkan saya akan Papa dan Mama yang berada jauh di Indonesia. Mengenai bekal yang tiap hari kami bawa selama enam tahun terus-menerus hingga hari terakhirnya. Rasa telur dan rendang itu kini terasa kembali di lidah saya.
Dalam kisah Obento si Yuki, ibu Yuki menaruh sepucuk surat di dalam bekal terakhirnya:
To Yuki We’have come to the final bento of your high-school life. Thank you for eating each and every one. Through these bentos we were able to communicate more. I don’t know when I’ll have the opportunity to make a bento for you again, so I hope you really enjoy this one. Your high school life was lots of fun, wasn’t it? There’s only a little time left, so enjoy it with your friends.
Kurang lebih artinya seperti ini:
Untuk Yuki,
Kita akhirnya sampai di bento (bekal makan siang) terakhirmu selama masa SMA. Terima kasih karena kamu mau memakannya setiap hari. Melalui bento, kita dapat berkomunikasi lebih. Ibu bahkan tidak tahu lagi kapan ibu bisa membuatkan kamu bento lagi, tapi, ibu harap kamu dapat menikmati yang terakhir ini. Kehidupan SMA-mu mengasyikan, bukan? Sekarang tinggal sebentar lagi, jadi, nikmatilah bersama dengan teman-temanmu.
Bekal Makan Terakhir
Saya bersyukur kepada Tuhan Yesus karena ada banyak sekali pengalaman baik yang saya dan adik boleh alami. Salah satunya bekal makan siang. Saat rasa telur dan rendang itu terasa kembali di lidah saya, saya mengingat begitu baiknya Papa dan Mama selama kami bersekolah SMP-SMA. Mungkin kami bukan orang kaya, yang dapat membeli makanan dari kantin, atau minum jika kami kehausan. Kami terbiasa untuk berhemat, entah makanan, minuman, atau sekedar tidak naik becak dan berjalan kaki dari depan komplek rumah. Berhemat, ya dengan membawa bekal makanan dan minuman. Tiga buah botol tupperware berisi air minum dan satu buah berisi makanan kurang lebih beratnya 3 kilogram, beratnya kini terasa kembali di jari-jari saya ketika menuliskan tulisan ini. Terima kasih Tuhan, meskipun terlihat begitu ribet dan menyulitkan, namun pengalaman membawa dan makan bekal dari rumah mengingatkan saya terus untuk terus dapat berhemat dan menghargai orangtua.
Papa dan Mama tidak menyelipkan surat di bekal terakhir yang saya atau adik bawa, seperti halnya yang Ibu Yuki lakukan. Namun, saya merasakan perhatian yang besar dari Papa dan Mama untuk pendidikan kami. Papa dan Mama bekerja keras, berhemat ini dan itu untuk menyekolahkan kami di SMP dan SMA yang terbaik. Begitu pula dengan perkuliahan kami. Papa dan Mama juga tidak hanya bekerja keras dan berbuat ini dan itu, mereka juga mendoakan kami. Itulah yang saya dan adik rasakan. Kini, waktu enam tahun terlalu cepat berlalu. Kenangan itu mungkin dapat hilang dari ingatan, makan saya ingin dapat terus mengingatnya melalui tulisan ini. Meskipun begitu banyak kesulitan dan tantangan selama kami bersekolah dahulu, kami diajar untuk dapat terus berjuang dan belajar sungguh-sungguh, memberikan yang terbaik, dan juga terus mengandalkan Tuhan.
Untuk para orangtua pembaca blog kami, berikanlah perhatian kepada anak-anak Anda. Mereka ada karena Anda memintanya dari Tuhan. Bekerja keras dan memenuhi semua kebutuhannya atau bahkan membelikannya ini dan itu memang baik. Namun selalu ingat, anak Anda ingin dekat dengan Anda. Melalui hal-hal sederhana, misal doa bersama sebelum anak Anda pergi ke sekolah, atau sebelum belajar dan tidur, atau juga melalui sarapan dan bekal makan siang yang Anda siapkan baginya, Anda dapat menjalin komunikasi yang baik. Uang memang penting, pendidikan dan sekolah yang baik juga penting, namun perhatian dan doa Anda melebihi semuanya itu. Papa dan Mama membuktikannya. Kami memang bukan keluarga yang kaya, namun Tuhan terus melimpahkan berkatnya. Bisa membayar uang sekolah, les bahasa Inggris, hingga masuk kuliah. Bahkan kini saya rasakan, berkat Tuhan secara materi jauh lebih banyak ketika saya dan adik sudah tidak membutuhkan biaya apa pun.
Dan untuk anak-anak, meskipun orangtua kalian mungkin tidak memiliki banyak uang atau bisa memberikan banyak uang jajan kepada kalian, namun ingat bahwa mereka amat mencintai kalian. Belajarlah sungguh-sungguh, lakukan yang terbaik, jadi anak yang membanggakan orangtua. Kehidupan akan semakin sulit, kalian harus belajar menjadi orang yang kuat dna pantang menyerah. Kisah kehidupan kami dapat menjadi bukti, bahwa tantangan dan kesulitan ada bukan karena Tuhan tidak ada atau tidak sayang kepada kalian. Itu Tuhan ijinkan terjadi untuk membentuk kalian sesuai dengan rencana-Nya. Saya berharap, tulisan-tulisan kami dapat terus menginspirasi kalian, menempuh pendidikan, berjuang, dan selalu mengandalkan Tuhan apapun yang terjadi. Sepuluh atau dua puluh tahun lagi kamu bisa lihat, betapa Tuhan membentuk hidupmu.