Agama di Mata Orang Jepang
Kita mungkin berpikir bahwa Jepang adalah negara yang penduduknya kebanyakan tidak beragama/ atheis. Lalu apakah benar seperti itu? Lewat artikel ini saya merangkum semua pengalaman yang saya dapatkan selama di Jepang, menginap Homestay di rumah orang Jepang, datang ke rumah Professor, bertanya pada Sensei dan teman orang Jepang serta membaca beberapa buku, mengenai Agama di Mata Orang Jepang. Selamat membaca!
Dalam bahasa Jepang ada pepatah seperti ini: Kurushii toki no kamidanomi. Artinya adalah saat menderita atau kesusahan, baru sungguh-sungguh minta tolong kepada Tuhan. Tapi kalau tidak ada apa-apa, tidak pernah berpikir tentang Tuhan. Ada juga orang Jepang yang menaruh Kamidana (Altar Shintou) atau Butsudan (Altar Budha) di dalam rumahnya dan berdoa tiap pagi dan malam. Orang-orang seperti itu hidup dalam dua agama, Shinto dan Budha. Kalau kita orang Indonesia yang percaya kepada Allah yang Esa melihatnya, kita pasti bingung. Saya sendiri bingung mengapa orang Jepang bisa mendua seperti ini ya? Bisa memeluk agama Shinto sekaligus Budha secara bersamaan?
Selain itu, masih banyak hal-hal lainnya. Misalnya saat perayaan tahun baru. Tahun baru di Jepang adalah waktu tenang. Orang Jepang kebanyakan akan melewati tahun baru di dalam rumah sambil menyantap soba (mie dari tepung soba). Mereka kemudian tidur dan besok pagi berangkat cepat-cepat ke Jinja (Kuil Shinto). Kebiasaan ini disebut Hatsumoude di mana orang-orang datang ke kuil dan mendapatkan mamori (jimat). Nah, jimat yang didapatkan ini biasanya dimasukkan ke dalam dompet atau mobil sebagai jimat agar tidak terjadi sesuatu yang buruk. Kita pasti sering melihatnya dalam film-film atau anime Jepang bukan? Tiga tahun melewati tahun baru di Jepang, dua kali saya melewatkannya dengan keluarga Homestay yang orang Jepang. Saya bisa menyantap toshi-koshi soba (soba pindah tahun). Tapi keluarga Homestay saya sudah tidak lagi pergi ke Jinja dan dapat mamori karena mereka sudah memeluk agama Katolik.
Kemudian, di bulan dua (biasanya satu hari setelah Tahun Baru Cina) ada namanya Setsubun. Setsubun ini adalah hari dimulainya musim semi. Biasanya keluarga akan berkumpul dan melakukan suatu kebiasaan unik. Orangtua dan anak-anak akan melempar mame (biji-bijian) sambil berteriak keras, “Oni wa soto, fuku ha uchi”. Oni itu kegagalan atau tidak beruntung, sedangkan fuku itu artinya kesuksesan atau keberuntungan. Jadi artinya kurang lebih seperti ini: Kegagalan pergi luar, kesuksesan masuk ke dalam. Waktu tahun 2011, musim semi pertama di Jepang, saya melakukan ini bersama dengan teman-teman dan Sensei.
Di saat Natsu sekitar pertengahan Agustus, ada juga liburan musim panas yang bersamaan dengan perayaan Obon. Obon ini adalah saat orang-orang yang merantau ke kota besar kembali pulang ke kampung halaman, bertemu orang tua, dan mengunjungi makam-makam keluarga yang telah meninggal.
Di bulan November, ada juga perayaan Shichi-Go-San (shichi itu artinya tujuh, go itu lima, san itu tiga tahun). Shichi-Go-San ini adalah saat di mana para orangtua mengajak anak-anaknya (kalau laki-laki yang berumur 3 atau 5 tahun, kalau perempuan yang berumur 3 atau 7 tahun) ke Kuil. Mereka biasanya berterimakasih karena bisa tumbuh besar dan juga meminta perlindungan dan keselamatan. Di Gereja GIII Tokyo sendiri, perayaan Shichi-Go-San ini juga dirayakan, namun tidak pergi ke kuil. Anak-anak diantar dan didoakan di Gereja.
|
|
|
|
Bulan Desember mungkin adalah bulan paling ramai. Meskipun bukan beragama Kristen, banyak orang yang menghias pohon natal, membagi-bagikan hadiah Natal, dan merayakan Natal bersama dengan makan bersama. Saya juga pernah diajak sekali oleh Professor saja untuk merayakan Natal di rumahnya. Meskipun tidak beragama Kristen, namun suasana rumahnya membuat saya heran. Ada pohon natal dan pernak-pernik, hadiah Natal yang memenuhi rumahnya.
Kemudian ini yang paling mengherankan. Orang Jepang lahir dibawa ke Kuil Shinto. Saat bayi di bawa ke Kuil Shinto. Ketika menikah diberkati dan dirayakan di Gereja. Dan ketika meninggal, acara pemakamannya berdasarkan agama Budha. Semuanya bercampur-campur.
Mengapa orang Jepang bisa hidup dalam campuran agama-agama seperti di atas? Saya sempat bertanya hal ini kepada Sensei Bahasa Jepang saat kuliah terakhir di bulan Januari. Saya juga sempat mencarinya di beberapa buku di perpustakaan. Dari yang saya dapatkan, inilah jawabannya.
Kalau memperhatikan Shinto yang sudah ada sejak dulu kala di Jepang, kita mungkin akan menemukan benang merahnya. Shinto itu berbeda dengan Kristen, Islam, dan Yahudi yang monoteis, Shinto itu politeis. Politeis itu berarti menyembah banyak dewa. Orang Jepang, sudah sejak dulu percaya bahwa di masing-masing tempat, di laut, di pohon, di batu, ada dewa yang diam di sana. Buku sejarah sastra Jepang mencatat buktinya. Sekitar tahun 720 ada banyak cerita-cerita dewa yang berkembang saat itu.
Sejak saat itulah orang Jepang percaya akan banyaknya dewa. Kalau ingin membangun rumah harus minta ijin dewa. Kalau ingin lulus ujian, ada lagi dewa lainnya. Setiap hal atau tujuan pasti ada dewanya. Seperti inilah orang Jepang terbiasa dengan adanya banyak dewa. Makanya ketika ada agama dengan kepercayaan lain yang masuk ke masyarakat, orang Jepang menerimanya dengan mudah. Saat ada perayaan yang dianggap menarik atau menguntungkan maka perayaan itu dirayakan, kalau tidak ya dilupakan. Selama ratusan tahun kebiasaan ini dibentuk dan akhirnya jadilah orang Jepang seperti saat ini. Orang Jepang yang merayakan perayaan dari bermacam-macam agama.
Beberapa waktu lalu ada penelitian mengenai agama di Jepang. Terhadap angket, “Apakah Anda mempercayai sebuah agama?” orang yang menjawab “ya” hanya 9 % saja. Sisanya 91 % mungkin bisa dikatakan tidak percaya dan tidak punya minat terhadap agama.
Dari hasil di atas orang bisa saja berkesimpulan kalau orang Jepang tidak percaya agama. Tapi meskipun kesadaran akan perlunya percaya pada agama tidak ada dalam diri orang Jepang, namun nyatanya orang Jepang tetap rajin dalam menjalankan kebiasaan agama-agama. Bahkan mungkin lebih rajin daripada kita yang mengaku diri orang beragama.
4 thoughts on “Agama di Mata Orang Jepang”