Badai dalam Hidup
Di Jepang pada Natsu atau musim panas hujan jarang sekali turun. Kelembaban jadi turun drastis sehingga kerongkongan menjadi kering. Suhu udara yang panas dan kelembaban rendah inilah yang sering membuat orang Jepang dehidrasi. Bahkan ada juga orang-orang tua yang meninggal di dalam rumah akibat dehidrasi. Sungguh suatu fakta yang menyedihkan yaa. Kalaupun hujan turun, itu dalam bentuk badai. Badai selalu datang dengan angin kencang/ taifuu disertai hujan dengan curah tinggi.
Hujan deras bisa turun sepanjang hari tidak henti, menyebabkan beberapa daerah di Jepang terendam banjir dan terjadi tanah longsor. Ngomong-ngomong soal badai, saya sudah dua kali terserang badai di Jepang. Keduanya saat musim panas. Satu kali pagi hari ketika hendak ke gereja dan saat malam hari pulang dari gereja. Saya ingin menceritakannya sedikit kepada teman-teman.
Mulai dari Sabtu pagi, Tenki Youhou (ramalan cuaca) mengumumkan bahwa badai akan datang menyapu wilayah Tokyo pada pagi hari. Mulai dari dini hari angin akan bertambah kencang dan puncaknya pada pagi hari. Ketika mendengar ramalan cuaca ini, saya pikir hujan hanya akan turun pada pagi hari yakni pukul 6 pagi, makanya saya merasa tenang. Saya tenang karena saya biasanya pergi gereja pada pukul 9 pagi. Saya pikir karena ada selisih tiga jam, maka badai sudah lewat dari Tokyo. Setelah mengunci jendela dan pintu, saya beristirahat malam itu.
Biasanya pukul 4 pagi, matahari sudah terbit dan sinarnya menerangi kamar saya. Namun pagi itu, keadaan luar masih gelap hingga pukul setengah enam. Saya segera bangun dari tempat tidur dan mengecek keadaan luar. Langit tampak gelap dan hujan turun dengan derasnya. Ditambah dengan angin selatan (berarti mengarah ke jendela kamar) dan hujan menyapu dan menghentak keras jendela kamar saya. Suaranya amat keras hingga saya jadi tidak konsentrasi dalam berdoa.
Selesai berdoa, saya segera sarapan pagi, dan bersiap-siap seperti biasa ingin pergi ke Gereja. Hingga pukul setengah sembilan, semuanya sudah siap, tinggal berangkat. Namun saya masih cemas, karena meskipun angin sudah tidak terlalu kencang, namun hujan masih deras. Saya waktu itu amat takut. Mungkin saja saya terjatuh dari sepeda atau hal-hal lainnya. Atau mungkin saja ada pohon-pohon tumbang yang bisa membahayakan.
Saya pikir lazim ketika kita takut menghadapi badai. Kalau membaca kitab Injil, kita mendapatkan fakta murid Yesus di dalam perahu pun takut ketika badai datang menyerang, meskipun mereka dulunya adalah nelayan. Mereka mungkin juga berpikir kalau Yesus ada di perahu maka tidak ada badai yang menyerang, tidak ada masalah datang menghampiri. Namun nyatanya? Bagaimana mungkin?
Inilah yang mungkin sering kita pikirkan. Kalau tujuan saya baik, kalau niat saya mengikuti perintah Tuhan, tidak mungkin ada badai dalam hidup, tidak mungkin masalah menyerang. Tapi bagaimana kenyataannya? Badai dalam hidup tetap saja datang bukan? Itulah juga yang saya alami. Badai tetap datang meskipun saya ingin ke gereja.
Kita mungkin sering berharap, andai Yesus menenangkan dan menghalau semua badai dalam hidup, kita pasti aman dan nyaman. Tapi bukan itu yang Yesus mau. Yesus mau agar kita menyadari perlindungan dan pertolongannya di saat badai terburuk sekalipun.
Setelah sedikit merenung dan berdoa, saya putuskan untuk pergi berangkat pagi itu. Saya tidak boleh kalah sama badai. Tidak boleh kalah sama hujan.