Saya dan Badai di Jepang
Dua tahun lebih tinggal di Jepang, saya sudah merasakan empat musim. Musim semi, musim panas, musim gugur, dan musim dingin/ salju. Di antara keempat musim itu, saya menyukai musim semi dan musim gugur. Selain suhu udaranya yang pas, tidak terlalu dingin atau terlalu panas, pemandangan pada musim ini juga sangat indah. Pada musim semi, kita disuguhi pemandangan daun-daun hijau muda dan bunga-bunga yang asri bermekaran. Sedangkan pada musim gugur, daun-daun menguning kemerah-merahan, menguraikan warna-warna indah dan mempesona.
Bagaimana dengan musim panas atau musim dingin? Saya kurang suka dengan keduanya. Selain suhu udara yang kadang terlalu panas atau terlalu dingin, pada musim ini badai sering datang. Badai sering datang bersamaan dengan angin kencang (angin topan) dengan hujan deras. Ini yang terkadang menyebalkan. Membuat kamar menjadi kotor bahkan sering jadi penghambat dalam perjalanan. Tidak jarang pula pohon di sekitar rumah tumbang dan menghalangi jalan.
Meskipun badai sering datang pada musim panas atau musim dingin, namun tidak jarang pula badai datang terlalu “cepat”. Kalau biasanya badai datang mulai bulan Juni atau Juli, kadang-kadang ada juga badai yang menyerang pada bulan Maret atau April (musim semi). Ini yang sering disebut Haruarashi (Haru = musim semi, arashi = badai, badai musim semi).
Ada pengalaman yang menarik antara saya dan badai musim semi. Dua kali saya berlibur di Indonesia, dua kali kembali ke Jepang lewat Narita Airport, dua kali pula saya “berpapasan” dengan badai musim semi. Menarik bukan?
Setiap turun dari pesawat menuju ke pintu imigrasi, saya biasanya langsung mengaktifkan ponsel saya (maklum hampir sebulan liburan di Indonesia ponsel itu saya non-aktifkan). Biasanya langsung ada lebih dari 50 pesan yang masuk bersamaan (sampai-sampai ponsel saya hang sesaat). Nah, di saat itulah saya juga sering mengecek weather forecast (ramalan cuaca). Ramalan cuaca Jepang terkenal sangat akurat hingga ke satuan 10 menit.
Dua kali saat tiba di Narita dan mengecek ramalan cuaca, dua kali saya mendapatkan informasi bahwa badai akan datang! Mulanya saya tidak percaya, sebab keadaan langit di Narita sangatlah terang. Saya mencoba mengecek lagi dari sumber yang berbeda, dan hasilnya pun sama. Saya berlari ke salah satu jendela di Bandara dan menemukan awan hitam besar yang mulai menghampiri Kanto Chihou (Daerah Timur Jepang). Wah, badai yang besar!
Karena sadar badai akan sangat menghambat perjalanan, saya segera menitipkan barang bawaan yakni koper besar ke Takkyubin (layanan antar barang cepat). Kopernya saya titipkan dan saya hanya membawa tas ransel dan tas selempang kecil. Saya segera berlari secepat mungkin meninggalkan bangunan Narita Airport menuju ke lantai bawah tanah, menuju ke stasiun kereta Keisei Narita Airport. Tahun 2012 dan 2013, dua kali saya beruntung mendapatkan kereta kyuukou/ ekspress yang jalannya cepat.
Saat kereta keluar dari rel bawah tanah dan meninggalkan kompleks Narita Airport, saya masih dapat melihat teriknya matahari menyinari daun-daun muda yang mulai tumbuh. Ahh, saya telah kembali ke Jepang! Itulah kesan saya di kereta yang penuh oleh orang-orang dengan barang-barang bawaan. Karena sedikit lelah, saya menunduk dan tertidur sejenak. Saya terbangun ketika kereta telah sampai di Stasiun Nippori, di bagian utara Tokyo. Langit sudah sangat gelap dan hujan rintik-rintik mulai turun. Untung saja saya telah menitipkan koper sehingga bisa berjalan cepat. Ada lagi untung yang kedua, untung saja saya bawa payung dari Indonesia, sehingga tidak usah kebasahan.
Dari Stasiun Nippori saya pindah line ke JR Yamanote Line menuju Stasiun Shinjuku. Badai pun semakin dekat saja rasanya. Suhu udara turun drastis, angin pun mendadak jadi kencang. Dengan terbata-bata karena angin kencang dan tas yang berat saya menuruni tangga stasiun Shinjuku menuju ke bawah tanah, ke stasiun Keio Shinjuku.
Waktu itu masih siang hari, sehingga kereta tidak terlalu penuh. Saya pun bisa duduk dan menurunkan tas punggung sejenak. Dari dalam kereta saya bisa melihat hujan deras dan tetes-tetes air hujan yang menghentak jendela. Jendela pun bergetar kencang diterpa angin badai. Dua kali saya kembali ke Jepang, dua kali saya bertemu dengan badai musim semi. Sungguh suatu kebetulan! Itulah pikiran saya saat itu.
Ahh, entahlah saya tidak tahu bilamana saya telah tertidur pulas dalam kereta. Tertidur pulas saat kereta Keio Line menuju kediaman saya di Jepang, Hashimoto, di Kanagawa.