Belajar dari Alor: Indahnya Perbedaan
Setibanya di rumah selepas berkuliah sabtu siang ini, saya menonton Alenia’s Journey, Uncover NTT. Sebuah kisah perjalanan dokumenter yang mengajak para penonton untuk merasakan perjalanan Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen berkeliling wilayah-wilayah Indonesia Timur. Dahulu sekali, saya sempat mengikuti kisah Alenia’s Journey, Uncover Papua. Bukan kebetulan rasanya, di hari Kebangkitan Nasional (20 Mei) hari ini, mereka mengajak para penonton untuk merasakan indahnya perbedaan dan keberagaman dari Pulau Alor. Hari ini saya belajar dari Alor: indahnya perbedaan.
Kerukunan antarumat beragama di Kabupaten Alor sudah terjalin sejak ratusan tahun lalu, tak heran jika pemeluk Islam ikut membangun gereja dan warga beragama Kristen membantu mendirikan masjid. Salah satu bukti nyatanya adalah bangunan Gereja Jemaat Ismail di Kampung Ilawe Desa Alila Timur.
Awalnya pembangunan gereja tidak memenuhi syarat karena hanya ada empat kepala keluarga yang beragama Kristen di desa tersebut. Namun, beberapa penduduk yang notabene beragama Islam mengajukan diri agar namanya dicantumkan dalam daftar tersebut. Akhirnya syarat ijin pembangunan dikeluarkan, bahkan para penduduk bersama-sama membangun gereja ini. Sebagai pengingat, gereja ini dinamai dengan Ismail. Sebuah nama yang terkesan asing untuk sebuah gereja. Namun, itulah yang menjadi tonggak sejarah bagi generasi berikutnya mengenai indahnya perbedaan dan keberagaman dari Alor.
Saat gempa dan tsunami menerjang di tahun 1991, bangunan gereja dan mesjid mengalami kerusakan parah. Namun, secara gotong royong para penduduk desa membangun dan memperbaiki bangunan gereja dan mesjid itu kembali. Mereka memang memiliki agama yang berbeda, namun mereka mengingat bahwa mereka pun saudara. Dan itulah yang jadi landasan utama kehidupan penduduk wilayah Alor sampai sekarang. Saat perayaan Natal maupun Ramadhan dan Lebaran, semua turut serta dan bersukacita. Sungguh indah melihatnya.
Tidak dapat dipungkiri, persatuan kita sebagai keluarga besar Indonesia sempat terpecah karena satu dan lain hal belakangan ini. Ada pihak-pihak yang mengangkat isu PKI, SARA (Suku, Agama, dan Ras) sebagai unsur pembeda dan pemecah persatuan yang selama ini sudah terjalin baik. Dari kisah sederhana di Alor, Nusa Tenggara Timur, saya jadi belajar mengenai indahnya keberagaman dan persatuan. Belajar dari Alor: Indahnya Perbedaan mengingatkan saya bahwa persatuan bukan berarti menghilangkan perbedaan namun dengan belajar saling menghargai dan menghormati, karena sesungguhnya, kita semua adalah saudara. Mungkin bukan saudara seiman atau sesuku, tapi kita adalah saudara sebangsa dan saudara seluruh umat manusia.
Sumber gambar: BBC