Kisah Minggu Palma
Kisah Minggu Palma: Gambaran Seorang Anak
Aku seketika itu heran. Hari itu padahal hari minggu biasa, namun seluruh penduduk kota berkumpul dan memadati tepi-tepi jalan kota ini. Rumah kami yang berada di tepi jalan besar mengijinkanku melihat keramaian yang tidak biasa ini dari jendela rumah kami yang kusam. Kok ramai sekali? Dan kulihat ada banyak orang yang bersukacita dan berteriak, “Hosana! Hosana!” Ada juga yang melepaskan bajunya dan mengalasi jalan. Membuat jalanan menjadi tidak seperti biasanya. Jalanan yang biasanya berpasir dan dipenuhi debu, kini berubah bagaikan karpet warna warni yang indah. Dan yang paling aku ingat adalah mereka memegang daun-daun palma di tangannya sambil menari dan melompat-lompat. Aku menyebutnya hari Minggu Palma. Apa yang sesungguhnya terjadi hari ini?
Ternyata aku baru mengetahui ketika ayah mengajakku untuk pergi ke tepi jalan dan ikut serta. Aku senang. Ada banyak teman-teman mainku yang ikut serta. Kami berlarian dan ikut menari layaknya orang-orang dewasa. Tidak lama kemudian, Yesus–orang yang terkenal dapat menyembuhkan segala penyakit itu datang dan melintas di jalan. Ayah selalu bilang, Yesus adalah pahlawan. Ia adalah pemimpin kami dalam kehidupan ini: melawan kemunafikan Ahli Taurat, melawat pemerintah yang korup, dan juga simbol kebangkitan kami. Yesus telah mengubahkan kehidupan keluarga kami, itulah yang paling aku ingat. Dulu ayah sakit lumpuh dan tidak bisa berjalan. Kebutuhan keluarga kami hanya ditopang dari penghasilan ibu sebagai buruh kebun lepas milik tetangga. Suatu hari, ayah pergi bersama dengan beberapa orang temannya. Namun ketika pulang, ayah sudah dapat berjalan. Ia berlari dan memelukku. Aku sungguh senang. Katanya, Yesus sudah menyembuhkan ayah. Kini keadaan ekonomi keluarga kami sudah membaik. Ayah dapat bekerja dan memberikan sejumlah uang yang cukup bagi keluarga kami, bahkan bagiku untuk dapat bersekolah.
Yesus kemudian melintas di hadapanku dengan naik keledai. Senyumnya yang tulus terpancar ketika kami saling bertatapan walau hanya sejenak. Sebenarnya aku ingin berlari dan menyongsong dia, ingin memeluknya dan mengucapkan terima kasih. Namun, orang-orang ini menghalangi aku untuk melakukannya. Sejujurnya perasaanku berkecamuk hari itu, aku heran. “Kok Yesus tidak naik kuda yah? Atau kereta layaknya pahlawan?” Namun pikiranku tidak lama bertahan, aku tidak peduli. Kami semua lanjut berlompat dan bernyanyi, “Hosana! Hosana!”
Hari itu berlalu begitu saja setelah Yesus melintas. Aku dan seluruh penduduk kota kembali ke kegiatan kami yang semula. Ada yang berkebun, menjadi nelayan, menjadi kuli angkut, dan aku bersama dengan teman- teman, kembali belajar di sinagog. Aku sangat ingin ada pesta di jalanan kembali.
Selang beberapa hari kemudian, ayah melarangku untuk keluar rumah. Keadaan kota kini menjadi mencekam. Yesus yang waktu itu kulihat disambut bak pahlawan kini kudengar akan diadili. Dia dituntut telah menghujat Allah dan akan segera dihukum mati. Aku sedih namun tak tahu harus berbuat apa. Mengapa orang-orang yang bersorak dan merayakan kedatangannya di Minggu Palma kini malah ingin menyalibkan Dia?
Sumber gambar: http://photos1.blogger.com/