Pembuangan ke Babel
Aku tidak pernah membayangkan hari yang seburuk ini. Begitu buruknya, sehingga walaupun aku ingin menangis, air mataku tidak keluar. Orang-orang dari Babel datang menyerang dan mengahancurkan kota tempatku ini. Semua kota di Yehuda hancur lebur, tidak ada yang tersisa. Bait Allah juga begitu. Semua perkakas di dalam Rumah Allah juga diambil dan dibawa oleh orang Babel. Sedangkan aku, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa berdiam diri, menatap semuanya. Hanya bisa berdiam diri melihat asap mengepul ke langit karena mereka membakar rumah kami. Hanya bisa berdiam diri melihat orang-orang yang mencoba melawan dibunuh. Hanya bisa berdiam diri menatap ini semua. Ah, Tuhan Allah rupanya sudah tidak sabar lagi. Allah sudah habis sabar karena semua perbuatan jahat yang sudah bangsaku lakukan.
Aku tahu bangsaku sudah sangat berdosa terhadap Tuhan Allah. Bangsaku sudah jauh daripada-Nya. Tidak lagi memuji dan memuliakan Tuhan. Tidak lagi mempersembahkan korban sembelihan kepada Tuhan. Tidak lagi beribadah kepada Tuhan. Tidak lagi mengingat nama Tuhan. Bangsaku malah menyembah allah-allah lain. Mendirikan bukit pengorbanan dan mempersembahkan korban allah bangsa lain. Memuji dan menyembah patung-patung.
Bangsaku nampaknya lupa, bagaimana Tuhan Allah menunjukkan kebaikan dan kesetiaannya. Allah sudah membawa bangsaku keluar dari perbudakan di tanah Mesir, dan menuntun ke daerah yang luar biasa subur, Tanah Kanaan. Allah sudah menghalau bangsa-bangsa itu di depan mata kami. Allah sudah menunjukkan mukjizatnya yang bahkan tidak terhitung lagi. Allah sudah sedemikian sabarnya menghadapi bangsaku yang tegak tengkuk ini. Ya, bangsaku mungkin sudah melupakan itu semua.
DANIEL namaku, dan sekarang tanganku diikat dan aku dipaksa berjalan keluar dari kota. Sepanjang perjalanan hanya hal itu saja yang kupikirkan. Bagaimana nasib negeriku nanti? Bagaimana masa depanku? Aku harus keluar dari tanah kelahiranku ini, menuju ke negeri asing yang tidak mengenal Tuhan Allah. Aku bahkan tidak mengetahui bagaimana nasib keluargaku? Apakah mereka selamat? Atau mereka sudah dibunuh? Ah, semua itu memenuhi pikiranku. Aku hanya bisa menatap sekelilingku. Semuanya sudah lenyap. Keluargaku lenyap. Rumahku sudah dihancurkan. Kotaku sudah diratakan dengan tanah. Masa depanku juga sudah hilang. Masihkah Tuhan mengasihi aku? Masihkah Tuhan mengasihi bangsaku?
Sampai di ujung jalan, aku disuruh naik ke atas kereta kuda. Dengan tangan masih diikat, atau ditarik naik ke atas. Ruangan dalam kereta sangat gelap dan bau. Aku hanya bisa melihat beberapa orang pemuda selain diriku, yang juga diikat untuk dibawa ke Babel. Tiga orang diantaranya aku kenal, mereka itu Hananya, Misael, dan Azarya. Aku kenal mereka. Kami sering bertemu di Bait Allah untuk berdoa dan berbicara mengenai Firman Tuhan. Firman Tuhan yang menuntun kami untuk hidup di dalam Tuhan. Tapi mengapa sekarang keadaannya seperti ini? Mengapa Tuhan menghukum bangsaku sedemikian berat? Aku tidak mengetahui jawabannya.
Kereta mulai berjalan. Aku menegakkan badanku dan mencoba mengintip dari jendela kecil. Samar-samar aku melihat kotaku. Semua sudah hancur. Semua sudah lenyap. Semua sudah rata dengan tanah. Sekarang aku hanya bisa berdoa agar Tuhan mengampuni bangsaku. Agar Tuhan juga tetap menuntun aku di negeri yang tidak aku tahu tempatnya. Ke negeri yang baru dan penuh tantangan. Ke negeri yang tidak mengenal Tuhan Allah. Ke negeri baru yang jauh sekali. Ya, aku hanya bisa melihat reruntuhan kotaku untuk terakhir kalinya.
Kereta terus berjalan. Berjalan terus ke negeri yang namanya Babel. Bagaimana nasib teman-temanku? Bagaimana nasibku nanti?
Disarikan dari: Daniel 1: 1-3, 2 Raja-Raja 24: 1-4, 2 Tawarikh 36: 6-7