Menghitung Hari
Masa perkuliahan saya sebagai mahasiswa sudah selesai di bulan Juli kemarin. Meskipun begitu, saya masih sering ke kampus untuk membantu teman mengerjakan Tugas Akhir. Saya juga masih sering bertemu dengan teman dan sahabat, sama-sama berbincang atau hanya makan bersama. Banyak teman yang sudah lulus dan akan melanjutkan hidup ke jenjang selanjutnya: baik untuk studi lanjut maupun untuk bekerja. Masa-masa empat tahun lebih berkuliah dan berelasi akan segera berakhir.
Sebuah pelajaran berharga sedang saya terima, yaitu menghitung hari. Hampir empat tahun kami bersama-sama, namun selama ini saya kadang menganggap itu biasa-biasa saja atau take it for granted. Sekarang saya disadarkan bahwa semua ini akan berakhir. Usai dan mungkin tidak akan kembali lagi. Sekarang saya sadar bahwa pertemanan dan persahabatan ini punya banyak kebaikan kepada diri saya. Dan saya menghitung hari, yaitu hari-hari di mana saya masih bisa bertemu dan tertawa bersama dengan teman.
Ajar Kami Menghitung Hari
Pemazmur berdoa, “Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana” (Mazmur 90:12). Doa yang mengajak kita untuk “menghitung hari”, supaya kita mempunyai “hati yang bijaksana”. Hati yang bijak menyadari bahwa semua yang kita punyai bukanlah milik kita selamanya. Semuanya itu adalah pinjaman sementara yang harus kita hormati dan sayangi.
Nyatanya, saya dan mungkin Anda–kita semua–sering lupa untuk menghitung hari. Kita hidup dengan ayah, ibu, pasangan, anak, tetangga, teman, sahabat, dan kerabat tanpa menghitung hari. Kita berpikir bahwa mereka abadi. Akhirnya, kita tidak menghargai mereka. Kita tidak peduli dan memberi perhatian. Lalu pada suatu hati kita akan tersentak: waktu kita bersama akan segera habis. Kita mulai menghitung hari. Ternyata ayah, ibu, pasangan, anak, tetangga, dan teman itu tidak ada duanya. Mereka tidak tergantikan. Dan mereka sebentar lagi akan pergi.
Saya lantas berpikir dan merenung sejenak: mengapa segala sesuatu ada akhirnya? Jawabannya sudah saya temukan: supaya kita belajar menghargai. Supaya kita belajar peduli dan menaruh perhatian. Sesuatu yang terus menerus ada menjadi kurang bernilai. Justru karena ada akhirnya maka sesuatu jadi bernilai. Kita jadi belajar menghargai, menghormati, dan peduli. Itulah alasan mengapa pemazmur mangajak kita untuk menghitung hari.
Saya beruntung karena saya menyadari akan hal ini jauh-jauh hari. Jauh sebelum akhirnya waktu itu datang: teman dan sahabat akan pergi dan berpisah selamanya. Setiap hari saya jadi bisa menghitung hari di Kota Bandung. Sedih sekali. Namun saya bersyukur: saya dapat belajar menghargai dan peduli.
Sumber gambar: gii-net.org