Menjadi Seorang Sahabat
Menjadi Seorang Sahabat, tulisan ini saya dedikasikan untuk teman dan sahabat saya, Cavin Ornando Simorangkir.
Saya mengenalnya baik sejak kepengurusan di PMK ITB. Bukan di awal kepengurusan kami, malah menjelang berakhirnya kepengurusan. Dia menjadi Kadiv Musik, saya menjadi Kadiv Intermedia. Dulu kami sering bekerjasama mengurus Jumatan PMK ITB saat masih di Ruangan 9009 LFM. Maklumlah, dia mengurusi para pemusik dan WL sedang saya mengurus masalah operator yang akan memegang presentasi. Dulu sering kami makan bersama setelah mengikuti Jumatan, mungkin itulah yang membuat kami dekat.
Menjadi Seorang Sahabat
Bersama dengan Kristio, kami bertiga sering menghabiskan waktu bersama di kala makan siang. Berbincang-bincang mengenai hal-hal seputar studi dan pelayanan di PMK sewaktu itu. Waktu-waktu itu kami bertiga saling mendukung baik dalam doa dan perbuatan. Mungkin karena kami bertiga lahir di tahun yang sama, membuatnya kami lebih “nyambung” satu dengan yang lain. Namun, pada kesempatan kali ini saya ingin berkisah lebih mengenai Cavin. Bukannya Tio tidak spesial, namun jelas membutuhkan waktu yang lebih panjang untuk dapat mengumpulkan kisah-kisah yang telah ada dan menyatukannya menjadi sebuah tulisan seperti ini.
Nama sahabat saya ini adalah Cavin Ornando Simorangkir. Anak kedua dari tiga bersaudara. Abangnya, Bang Andre juga berkuliah di ITB, jurusan Teknik Mesin. Cavin sendiri mengambil jurusan Teknik Sipil. Jurusan yang tidak pernah ia duga sebelumnya bahkan saat melakukan persiapan ujian masuk ke ITB. Dulu ia ingin sekali masuk ke jurusan Seni atau Arsitektur karena ia senang menggambar. Namun kini ia begitu bersyukur karena kini ia berada di jurusan Sipil dengan fokus transportasi. Kami pun sering bertukar kisah dan pendapat mengenai pembangunan dan teknologi transportasi di Indonesia.
Sebenarnya kedekatan kami muncul karena kami sering pulang bersama. Selama kepengurusan, saya sering nebeng pulang bersama Cavin karena indekos kami searah. Dia dekat terminal Cisitu, saya di Cisitu Lama V. Nah, ketika pulang bersama, kami sering makan bersama terlebih dahulu. Atau sekedar berbincang-bincang. Topiknya? Studi, pelayanan, keluarga, pemuridan, hingga soal wanita. Wah! Berbincang dengan Cavin banyak membukakan pikiran saya dan membuat pandangan saya terhadap suatu masalah menjadi lebih luas. Lebih dari itu, kami sering pula bertukar beban doa dan saling mendukung satu sama lain. Ia lebih daripada seorang sahabat. Ia sudah menjadi saudara saya. Ya, benar saudara. Bukan lebai atau berlebihan.
Sepanjang kepengurusan dahulu, kami berdua paling sering membuat banyolan untuk mencairkan suasana. dan membuat yang lain tertawa di tengah-tengah suasana yang panas. Mungkin kesamaan sifat dan masa kecil membuat kami menjadi lebih “nyambung”–bukan maksud untuk merendahkan atau mengabaikan orang lain ya. Jadi kami sering bertukar cerita mengenai perjuangan di masa kecil, dulu Cavin harus mengumpulkan makanan-makanan sisa dan memberi makan ayam-ayam yang dipelihara. Keadaan ekonomi yang sulit juga membuatnya dulu harus berhemat dan hampir tidak sekolah. Saya pun mengingat masa-masa sewaktu adik saya dan saya SD dulu. Kami jalan kaki pulang ke rumah untuk menghemat pengeluaran. Wah, beberapa kejadian masa lampau kembali melintas saat saya bertukar cerita dengan Cavin. Ia seorang melankolis begitu pula dengan saya, jadilah kami “nyambung” satu dengan lain. Nah, itulah kisah persahabatan saya dengan Cavin.
Perpisahan saya dengan dirinya mungkin tinggal sebentar lagi. Ya, benar, kini kami sudah berada di tingkat keempat perkuliahan di ITB. Kini kami sama-sama sedang menyusun tugas akhir kami. Dan jelas kami mungkin akan berpisah. Maka ijinkanlah tulisan ini menjadi sebuah tulisan bagi saya untuk dapat mengenang dirinya. Salah seorang sahabat terbaik yang saya miliki di kampus ini. Sebuah anugerah dari Tuhan dapat mengenal dirinya.
“Dua setengah tahun ini, Cavin membuatku menjadi seseorang yang lebih baik. Menjadi seorang sahabat dan mahasiswa yang mau mendengar dan memperhatikan. Ia benar-benar mendorongku dan membuatku harus selalu berbuat yang terbaik.” Jelaslah ini membuat saya yakin, kami selalu saling mendorong untuk menjadi seseorang yang terbaik dan menyenangkan hati Tuhan.
Saya selalu ingat pesan yang disampaikan penulis kitab Ibrani, “Marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dan dalam kasih dan dalam pekerjaan baik.” Sebagai orang percaya dan mengenal Kristus, kita memiliki kewajiban untuk saling menguatkan dalam iman kita.
Tidak ada orang percaya yang dapat hidup seorang diri. Untuk menjalani kehidupan seperti yang dikehendaki Tuhan Yesus, kita membutuhkan komunitas dan orang lain yang saling menguatkan. Dan saya bersyukur kepada Tuhan Yesus, Cavin menjadi salah seorang yang Ia kirim untuk saya semakin lebih baik, semakin belajar menjadi murid Yesus.