Ngapain Dia Ada di Sini?
Ada seseorang yang tidak kita sukai. Kita ingin membuat dia kehilangan sukacita—bahasa mudahnya menderita. Bagaimana caranya? Paling tidak ada dua cara. Pertama, kita pukuli dan tinju dia. Ia pasti mengaduh kesakitan. Tetapi, cara itu akan menyulitkan kita sendiri. Mungkin dia membalas. Mungkin juga dia jauh lebih kuat daripada kita. Niat mukulin, eh, malah kita yang babak belur. Lagian, mungkin ia akan berteriak dan menjerit, lalu satpam dan orang lain datang, membuat semuanya jadi repot.
Ternyata ada jalan lain yang jauh lebih mudah membuat dia menderita. Caranya adalah kita sepelekan dia. Dari jauh kita sudah buang muka. Saat dia mendekat, kita berpura-pura tersenyum, sambil menggerutu di dalam hati, “Ngapain dia ada di sini?” Kehadirannya membuat kita merasa kurang nyaman. Kita ingin menyingkirkan dan meminggirkan dia. Mudah sekali bukan? Kita cuekin dia. Dia berbicara apa, tidak kita gubris. Semua teman lain kita ajak untuk makan atau jalan-jalan, kecuali dia. Ia tidak diikutsertakan. Ia tidak masuk ke dalam hitungan. Ibarat sebuah kotak, kita ingin dia berada di luar kotak. Dalam kondisi yang lebih ekstrim bahkan kita bisa berkata, “Eh, ngapain sih kamu ada di sini?” Hatinya pasti hancur, bahkan untuk orang paling kuat sekalipun.
Ngapain Dia Ada di Sini?
Cara kedua yang jauh lebih mutakhir bukan? Mudah sekali bahkan untuk dilakukan. Ketika dia tahu bahwa dia tidak dianggap, ia akan kecewa. Ketika ia tidak diikutsertakan, ia akan tersinggung. Ia akan sedih dan sakit hati. Di saat itu, dia menderita. Walhasil, kita puas berhasil membuatnya menderita. Mantap bukan?
Itulah dampak dari sebuah penolakan dan penyingkiran. Senjata yang begitu mudah—bahkan terlalu mudah—dan ampuh untuk menyakiti hati seseorang. Tidak suka? Kita tolak dan sepelekan dia. Tetapi pada kenyataannya, praktek-praktek jenis ini tidak hanya terjadi pada masa sekarang saja, dari zaman Tuhan Yesus juga sudah terjadi.
Yang disingkirkan adalah kelompok yang dianggap berkeyakinan sesat, seperti orang Samaria. Akibatnya, orang Samaria dibenci dan disingkirkan. Selain itu, ada banyak orang yang bernasib serupa, seperti: Zakheus dan perempuan berdosa. Mereka adalah orang-orang yang tertolak. Mereka ada di luar kotak. Dan ketika mereka berada di tengah-tengah, kita mengumpat, “Ia menerima orang-orang berdosa dan makan bersama dengan mereka “(Luk. 15:2).
Akibatnya dari sikap-sikap semacam itu, semakin banyak orang yang berada di luar kotak. Mereka tersingkirkan, menjadi kaum marjinal yang perlahan-lahan dilupakan. Itulah praktek yang hingga kini ternyata masih terjadi bahkan semakin meluas.
Lantas, apa yang Yesus perbuat? Yesus justru berani melawan mainstream. Ia bersikap kebalikannya. Ia merangkul semua orang. Lihat lagi dalam kisah Zakheus (Lukas 19), percakapan dengan perempuan Samaria (Yohanes 4), dan saat Yesus diurapi oleh perempuan berdosa (Lukas 7). Ketika kisah tersebut menunjukkan bahwa Yesus bersifat inklusif, yaitu merangkul dan mengajak orang-orang yang tersingkir. Yang ditolak oleh masyarakat justru diterima oleh Yesus. Yang disingkirkan dan disepelekan malah dirangkul. Itulah Tuhan Yesus. Bahkan di dalam Lukas 15:2, “Ia menerima orang-orang berdosa dan makan bersama-sama dengan mereka.” Makan bersama adalah verba yang menggambarkan kedekatan antar individu yang jauh dibandingkan sekedar tahu dan mengenal. Sekali lagi, itulah yang Tuhan Yesus, Tuhan kita lakukan.
Wah, wah, apa hubungannya dong dengan PMK ITB? Ternyata, masih banyak loh di antara kita yang mempraktekan cara-cara seperti ini. Awalnya, hanya membeda-bedakan. Aspek pembedanya ternyata banyak dan beragam, suku, jurusan, Lembaga Pelayanan, divisi, atau apalah. Lantas, perlahan kita mulai menyingkirkan dia dari kotak. Kita sepelekan dan taruh dia di luar kotak. Kita tahu jelas akhirnya, dia merasa tidak dianggap dan tertolak. Dia menderita. PMK ITB harusnya menjadi komunitas di mana setiap orang dapat merasakan dirinya dirangkul dan disambut tanpa kecuali. Di saat kita mulai nyaman dengan komunitas kita sekarang, dan ada orang lain di luar kotak yang datang, eh, malahan kita abaikan. Tidak kita sapa. Tidak kita rangkul. Malahan kita bertanya, “Ngapain kamu di sini?”
Itulah setidaknya yang aku rasakan di beberapa kesempatan berbincang-bincang dengan mahasiswa Kristen di kampus ini. Benar atau tidaknya hanya Anda dan saya yang tahu, hanya saja, saya telah berusaha menuliskan ini berdasarkan fakta yang ada. Kondisi real, sesuai yang terjadi. Tak perlu lah kita sebut siapa kelompok-kelompok pelaku dan korban penolakan ini. Rasa-rasanya, kita semua yang harus kembali memeriksa kembali diri kita pribadi lepas pribadi. Belajar menjadi seperti Kristus adalah tujuan kita hidup di dunia ini, dan menjadi pribadi yang inklusif—yang mau merangkul semua orang—bisa kita mulai lakukan.
Pada keadaan ini, pastilah persatuan dan kesatuan akan hadir di tengah-tengah kita, PMK ITB. Semuanya akan menjadi lebih mudah karena semua orang saling menghargai dan merangkul. Perbedaan bukannya tidak ada, karena memang kita berbeda. Hanya saja, perbedaan ini bukanlah menjadi yang utama. Idealnya, menjadi yang paling tidak utama. Perbedaan itu harusnya dapat kita jadikan alat untuk saling melengkapi, alat untuk membukakan wawasan dan sudut pandang yang lebih luas. Alat untuk saling mengerti dan menghargai. Golongan suku ini menghargai orang dari suku lain. Anggota dari Lembaga Pelayanan ini mau merangkul anggota dari Lembaga Pelayanan yang lain. Memang rasanya nyaman dengan kondisi kita di dalam kotak ini, namun cobalah lihat: ternyata masih banyak yang ada di luar kotak. Lantas, pilihan ada pada kita: merangkul seperti yang Yesus lakukan, atau kita buat dia menderita dengan mengabaikan dan meremehkan dia? Kita ajak dia makan atau melakukan suatu kegiatan bersama atau malah kita tanya, “Eh, ngapain kamu di sini?”
Ijinkan saya menutup tulisan saya ini dengan sebuah kisah penutup. Suatu kali, seorang ayah tua bergembira menyambut kedatangan putranya yang telah berkelana ke negeri jauh. Ia telah memboroskan hartanya dengan berfoya-foya. Sang ayah merasakan sukacita yang begitu besar ketika anaknya ini kembali. Ia dan seisi rumahnya berpesta, kecuali satu orang. Putranya yang lain tidak bergembira. Malah ia menggerutu. Ia gusar. Ia berujar, “Ngapain dia ada di sini?”