Bersama Sahabat – Perjalanan Pulang ke Bandung
Kali ini rute perjalanan pulang berbeda dengan rute saat kami berangkat. Arah memutar ke Cianjur dipilih untuk menyingkat perjalanan. Menurut acuan Google Maps yang dipakai Ko Sam, kami akan berhemat perjalanan sampai dua puluh kilometer. Pemandangan pantai dan lautan yang luas menemani perjalanan pulang kami hampir selama dua jam penuh kami.
Langit pun mulai gelap ketika kami tiba di Pasar Sindangbarang. Kami berhenti sejenak untuk membeli minum dan makanan kecil. Lewat dari pasar tersebut, kami mulai masuk ke jalur Sindangbarang-Gunung Halu. Sekitar pukul 18.00, saya memimpin teman-teman satu mobil menyanyikan lagu-lagu Kidung Jemaat. Ada puluhan lagu yang kami nyanyikan dan membuat perjalanan terasa lebih menyenangkan, meskipun sepanjang perjalanan hanya terlihat pohon-pohon di kiri kanan jalan.
Sesekali kami harus berhenti dan mengalah karena ada truk-truk besar yang lewat dari arah sebaliknya. Jalanan yang hanya satu lajur membuat kami harus saling mengalah ketika saling berpapasan. Selain itu, kondisi jalanan yang berat dan kontur tanah yang naik turun membuat kendaraan hanya bisa dipacu maksimal 10 km/jam. Analisis awal untuk memotong perjalanan ternyata gagal total dan tidak mungkin kami dapat sampai di Bandung pukul 21.00.
Emosi masing-masing orang mulai terpancing naik. Tio yang mengendarai mobil depan terlihat mulai kewalahan ketika menemukan jalan yang begitu berat dan kondisi yang gelap gulita. Corel sebagai navigator juga sudah mulai panik. Selain itu, ternyata Sion juga jatuh sakit. Oci dan Ko Sam yang menjadi pemimpin perjalanan ini juga mulai panik ketika menyadari kondisi jalanan yang begitu di luar perkiraan.
Di mobil belakang, Saut juga mulai emosi. Kondisi kalut dan panik menguasainya saat itu. Yolanda yang menjadi navigator juga hanya bisa berdoa saat itu. Steve dan saya bergantian menemani perjalanan dengan tetap berbicara. Sementara yang lain, Enzha, Pen, dan Erika sudah tertidur sedari perhentian terakhir. Selama hampir tiga jam penuh kami menempuh perjalanan yang penuh misterius. “Mungkinkah kita tersasar?”, “Di mana kita berada sekarang”, “Apakah kita bisa pulang dengan selamat?”, dan segala bentuk kekuatiran mulai merasuk di dalam diri setiap kami. Rasa-rasanya perjalanan pulang yang begitu menguras emosi mulai menghilangkan sukacita kami bersama tadi siang.
Sekitar pukul 21.30, kami mulai masuk ke daerah yang ramai. Sindangkerta dan Cililin adalah daerah yang saya ingat kali itu. Perjalanan menuju ke Bandung ternyata sudah dekat, apalagi ketika Corel menanyakan jalan menuju ke Bandung melalui Padalarang. Akhirnya, akhirnya, kami mulai melalui daerah-daerah dengan nama yang kami kenal. Padalarang, Babakan Ciparay adalah kata-kata yang menentramkan jiwa dan memberikan secercah harapan menuju ke Bandung.
Puncak dari perjalanan pulang ini adalah ketika Ko Sam memutuskan mengambil jalan potong. Seperti jalan yang mati, ada kayu dan genteng yang berada di kiri kanan jalan. Jalanan tanah yang gelap kembali menaikkan emosi setiap kami yang tadi sempat dipenuhi dengan berbagai harapan. Akhirnya, kami tiba di ujung jalan tersebut dan masuk ke dalam jalan raya menuju ke Cimahi. Masuk dari pintu tol Baros kami meneruskan perjalanan menuju kota Bandung, kota yang begitu kami harapkan selama tujuh jam perjalanan pulang yang panjang.
Tiba di kota Bandung sekitar pukul 23.35, kami memutuskan untuk makan bersama di daerah Pelesiran. Sebelumnya, mobil belakang mengantarkan Erika ke indekosnya di Sulanjana. Tio juga langsung kembali ke rumahnya di daerah Sederhana. Selanjutnya, kami yang tersisa makan bersama dan membicarakan perjalanan yang telah kami tempuh. Sukacita begitu jelas terpancar dari muka-muka yang lelah dan telah digerogoti oleh berbagai emosi. “Sukacita akan terasa begitu menyenangkan ketika kita mengalami dukacita, itulah hidup”, adalah kata-kata yang saya ucapkan di tengah-tengah acara makan kami. Dan teman-teman yang lain mengamini semuanya.
Acara makan telah berakhir sekitar pukul 00.30, dan ada berbagai kegiatan yang menunggu kami esok hari. Kami kemudian berpisah menuju indekos masing-masing. Pen ke indekosnya di daerah Kebon Bibit. Ko Sam mengantarkan Sion ke indekosnya di Pelesiran dan kemudian bersama Saut menuju ke rumahnya. Saya, Cavin, Steve, Corel, Oci, Enzha, Yolanda bersama Saut diantarkan menuju ke indekos masing-masing. Oci di Mc’d Dago, Yolanda di Dipati Ukur dekat Kampus Unpad, Enzha di Cisitu Lama 1, kemudian saya di Cisitu Lama 5, Corel di Cisitu Indah, Steve, dan Cavin.
Perjalanan yang panjang hari itu, selama hampir 23 jam kami bersama. Masih jelas di dalam bayangan saya ketika malam sebelumnya meninggalkan indekos pukul 00.45 dan bertemu dengan Cavin dan Steve, kini saya tiba di indekos pukul 01.00. Badan lelah, capai, dan kotor, namun sukacita ada di dalam hati saya. Sukacita yang Allah berikan di tengah-tengah kebersamaan kami. Berkat Allah yang dicurahkan di tengah-tengah persatuan kami.
Sebelum tidur, saya sempat mengirimkan pesan singkat kepada semua teman-teman, ijinkan saya mengutipnya sebagai penutup tulisan saya ini.
Thanks buat:
- Tio dan Saut, untuk mobil dan kemauannya buat menyetir.
- Corel, karena udah tetap mau tanya ke arah Bandung.
- Sion yang udah mau dibasahin total sampai sakit, maaf ya Yon.
- Oci dan Pen yang mau gantian nyetir dan buat cerita ketidakmauan kalian basah-basahan.
- Cavin, Enzha, dan Steve, yang mau jalan bareng dari Cisitu kemarin dan nemanin di mobil.
- Yolanda navigator handal yang mau berdoa dan gak tidur.
- Erika dan teman semobil yang mau nyanyi Kidung Jemaat bareng.
- Dan buat Ko Sam, thanks for today, buat kebaikan, pengorbanan, yang sampai kapan pun aku gak mungkin balas. That’s it. I am very happy! Buat segala dukacita, lupakan ya. Buat semua sukacita, ingat ya sampai kapan pun.
Pesanku, bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, menangislah dengan orang yang menangis. KEEP ON FIRE WITH GOD.
Lihat Juga Artikel Terkait:
Bersama Sahabat–Part 1
Bersama Sahabat–Part 2
Bersama Sahabat–Part 3
Sumber foto : blogspot