Sahabat Terbaikku, Samuel
Cerita Pendek Sahabat Terbaikku Samuel
Samuel berbeda dengan anak-anak seusianya. Di usianya yang baru 9 tahun, wajah dan perawakan Samuel layaknya seorang kakek berusia 60 tahun. Samuel menderita penyakit Progeria—sebuah penyakit genetik yang membuat sel-sel tubuh menjadi tua lebih cepat daripada seharusnya. Belum ada obat untuk mengobati Progeria . Progeria membawa dampak buruk bagi kesehatan Samuel. Ia menderita rematik, asam urat, dan tekanan darah tinggi—penyakit yang biasanya ditemukan pada kakek atau nenek. Samuel juga tidak dapat berdiri tegak dan tidak mampu berlari.Aku sendiri mengenal Samuel sejak kami bersekolah di sekolah dasar. Pertama kali melihatnya, aku agak terkejut, ia tampak berbeda. Beberapa teman lain terlihat menjauhi dia, bahkan ada yang mengejeknya. Kebanggaanku pada diri Samuel muncul di hari pertama kami bertemu. Ia tetap percaya diri dan selalu berusaha berkenalan dengan semua orang, termasuk pada diriku. Ia juga selalu tersenyum.
Pukul 12.30, lonceng sekolah berbunyi. Kami berlarian dari kelas menuju ke halaman luar. Ibu datang menjemputku seperti biasanya. Anehnya, ibu sekarang tidak sendiri, ibu bersama seorang wanita yang amat cantik. Aku pikir dia seumuran dengan ibu. Ibu menyuruhku memberi salam kepada wanita itu. Wanita itu kemudian memperkenalkan diri, namanya Santa, dan ternyata ia adalah ibunya Samuel.
Kami bertiga berdiri di bawah pohon sambil menunggu kedatangan Samuel. Anak-anak yang lain sudah pulang bersama orangtuanya. Sekolah sekarang sudah sepi. Dari kejauhan, Samuel muncul dengan tergopoh-gopoh. Ia tetap tersenyum. Ketika tiba di tempat kami menunggu, Samuel memeluk ibunya dengan erat.
“Bagaimana tadi di sekolah, Samuel?” itulah pertanyaan yang muncul dari Tante Santa, sapaan baruku untuk wanita yang baru kukenal. Samuel menjawab pertanyaan ibunya dengan sebuah senyum. Tante Santa hanya mengangguk pelan. Aku sendiri tidak mengerti apa arti dari senyum itu. Tidak seperti aku, Samuel tidak mau tasnya dibawakan oleh ibunya, padahal keringat telah mengucur deras di wajah dan lehernya.
Kami semua kemudian masuk ke dalam mobil. Ibu duduk di bangku depan, di samping supir keluarga kami. Aku, Tante Santa, dan Samuel duduk di bangku belakang. Samuel langsung tertidur di pelukan ibunya, mungkin karena dia kelelahan. Sambil mengelus rambutku, Tante Santa sempat bertanya padaku apakah aku mengenal Samuel di sekolah. Aku mengiyakan, aku juga menceritakan bahwa kami sekelas. Tante Santa hanya balas tersenyum.
Tante Santa dan Samuel turun terlebih dahulu. Mereka tinggal dua rumah di sebelah kanan rumahku. Ternyata, kami tetangga. Setelah tiba di rumah, aku pun langsung makan dan tidur siang. Malam harinya, ibu menemaniku belajar—seperti biasanya. Namun malam ini berbeda, ibu bercerita mengenai Samuel. Itulah saat pertama aku mengetahui penyakit yang diderita Samuel. Progeria, sebuah penyakit yang baru kali ini kudengar. Ibu juga menasehatiku untuk tidak membeda-bedakan orang, untuk mau bersahabat kepada siapa saja, dan menjadi anak yang lebih mandiri.
Pagi harinya, ibu mengantarku ke rumah Samuel. Halaman depan rumahnya luas sekali, ada juga kolam ikan yang dipenuhi ikan-ikan kecil. Halaman itu juga dipenuhi dengan bunga-bunga yang indah dengan beragam warna. Amat terawat. Di sana, aku bertemu dengan ayah Samuel, Om Josua, yang sedang mempersiapkan mobil. Mulai sekarang, setiap paginya, aku dan Samuel akan diantar oleh Om Josua dan Tante Santa yang sekaligus akan berangkat kerja. Aku duduk di bangku belakang bersama Samuel. Di depan gerbang sekolah, mobil berhenti. Setelah mencium tangan Om Josua dan Tante Santa, aku turun dari mobil. Samuel sendiri memeluk kedua orangtuanya dengan erat sambil membisikkan sesuatu. Om Josua dan Tante Santa membalasnya dengan tersenyum.
Samuel dan aku berjalan bersama ke kelas. Aku harus melangkah lebih perlahan supaya Samuel tidak tertinggal. Kami sempat berbincang-bincang mengenai PR Matematika dan Seni yang dikumpulkan hari ini. Di kelas, kami duduk bersebelahan. Hari itu, aku mengetahui bahwa Samuel amat pandai dalam pelajaran Matematika. Ia dapat menjawab semua pertanyaan Bu Agnes dengan cepat. Hasilnya pun benar semua. Aku menjulukinya ‘Maestro Matematika’. Pada pelajaran Seni Menggambar, aku adalah pemegang nilai terbaik di kelas. Samuel pun balas menjulukiku sebagai ‘Maestro Seni’ sambil tertawa kecil. Aku mengiyakan. Siang itu, ibu menjemput kami berdua. Samuel akan berada di rumahku sampai sore hari karena kedua orangtuanya sibuk bekerja.
Hari-hari terus berlalu. Setiap pergi dan pulang sekolah, Samuel dan aku selalu bersama. Perlahan-lahan, Samuel dan aku semakin akrab. Kami menjadi sahabat. Kemampuan Samuel di bidang Matematika telah membuat dia menjadi terkenal di sekolah dan memiliki banyak teman. Ia selalu menjadi juara di setiap lomba Matematika yang dia ikuti. Aku pun juga terkenal di sekolah karena kemampuanku di bidang seni. Banyak penghargaan yang telah kuperoleh dari kemampuan menggambarku. Semester ini, Samuel adalah peringkat pertama kelas, menggeser aku ke peringkat kedua. Selama beberapa tahun, kami selalu bergantian menduduki peringkat satu. Tetapi persaingan tidak lantas membuat kami bermusuhan. Kami malah semakin akrab. Setiap sore, Samuel dan aku bermain bola bersama di halaman rumahku. Meskipun tidak seluas halaman di rumahnya, Samuel lebih suka bermain bola di rumahku. Ia takut merusak bunga-bunga yang ditanam ibunya. Sering juga kami bermain dengan ikan-ikan di kolam yang ada di halaman rumahnya. Malam harinya, kami selalu belajar bersama. Setiap hari minggu kami juga pergi sekolah minggu bersama. Aku mempunyai banyak sahabat dan teman, tetapi buatku, Samuel adalah sahabat terbaik.
Buku Mewarnai
Tahun ini Samuel dan aku kembali akan merayakan ulang tahun bersama. Ya, kami lahir pada tanggal yang sama, 24 Desember 2001. Dari awal Desember, Tante Santa dan ibu sudah sibuk mempersiapkan acara ulang tahun kami berdua yang rencananya diadakan untuk pertama kalinya di rumah Samuel. Hari yang kami tunggu-tunggu akhirnya tiba. Kami amat bersukacita saat merayakan ulang tahun bersama. Tahun ini, kami bersama-sama meniup lilin berbentuk angka 9 diiringi lagu yang dinyanyikan teman-teman sekolah. Ingin sekali aku menghentikan waktu saat itu. Aku amat bahagia.
Siang keesokan harinya, setelah pulang dari perayaan Natal Sekolah Minggu, kami bersama-sama membuka kado-kado yang diperoleh kemarin. Banyak hadiah yang kami peroleh, ada tempat pensil beragam bentuk, botol minum, tempat makan, mobil-mobilan, dan masih banyak lagi. Ada pula baju dan celana beraneka warna dan model. Namun, hadiah yang paling berkesan bagi kami adalah dua buah buku mewarnai yang amat tebal. Jumlah halaman buku itu 365. Sungguh istimewa! Setiap hari kami harus mewarnai satu halaman buku tersebut hingga ulang tahun kami pada tahun depan.
Mulai dari hari itu, setiap sore sebelum kami bermain bersama, kami selalu mewarnai satu halaman buku mewarnai itu. Sebagai ‘Maestro Matematika’, Samuel nampak tidak ingin kalah dariku. Ia mewarnai buku itu dengan sungguh-sungguh. Sungguh menyenangkan dapat menghitung mundur sampai ulang tahun kami selanjutnya.
Hari-hari berlalu cepat. Sekarang, aku harus semakin sabar menunggu Samuel. Ia berjalan makin lambat. Langkah kakiku harus amat perlahan agar dia tidak tertinggal. Di Sekolah Minggu pun, Samuel lebih sering bertepuk tangan sambil duduk. Ia tidak mampu lagi berdiri dalam jangka waktu lama. Namun, ia masih sama seperti saat aku mengenalnya, tetap mandiri dan selalu tersenyum. Semester ini, aku berhasil merebut peringkat satu di kelas dari Samuel. Ia sekarang di peringkat kelima. Samuel menjadi ketinggalan pelajaran karena ia sering sakit. Kata Tante Santa, ini adalah efek dari penyakit Progeria yang diderita Samuel. Kami juga sudah jarang bermain bersama. Namun, kegiatan mewarnai buku gambar tersebut tetap berjalan tiap harinya. Samuel menyuruhku mewarnai bukunya ketika ia merasa amat lelah untuk mewarnai. Ia tetap dengan gaya khasnya—tersenyum, ketika aku meliriknya saat sedang mewarnai.
Cokelat, Penyatu dan Pemisah
Sebenarnya yang membuat kami menjadi akrab adalah cokelat. Samuel amat menyukai cokelat, begitu pula dengan aku. Ibu yang memberitahu aku mengenai makanan favorit Samuel, di malam yang sama saat ibu menceritakan penyakit yang diderita Samuel. Sejak saat itu, setiap jajan di kantin sekolah—Samuel dan aku tidak pernah lupa membeli cokelat. Kami membawanya ke kelas dan makan cokelat itu bersama. Bagiku, cokelat adalah penyatu aku dan Samuel. Kebersamaan itu muncul dari suatu kesamaan, dan buat kami kesamaan itu ditemukan dalam cokelat.
Sekarang sudah pertengahan bulan Desember 2011. Ujian semester baru saja selesai dilaksanakan. Semester ini Samuel tampak semakin tertinggal dalam pelajaran. Hal yang selalu membuatnya bersemangat adalah jumlah halaman buku mewarnai yang terus bertambah. Tidak pernah seharipun kami bolos untuk mewarnai halaman itu. Sekarang kami berada di halaman 355, itu berarti sepuluh hari menjelang ulang tahun kami.
Kesibukan Tante Santa dan ibu menyiapkan ulang tahun kami pada tahun ini tampak berbeda. Sampai pertengahan bulan, belum nampak persiapan apa-apa. Samuel dan aku masih bingung mengenai konsep perayaan ulang tahun kami. Ia tidak mau pesta-pesta seperti tahun-tahun sebelumnya yang membuatnya menjadi kelelahan. Sebagai sahabat, aku juga ingin melihat ia menikmati perayaan ulang tahunnya.
Enam hari menjelang ulang tahun kami, ia sudah jauh lebih sehat. Keputusan sudah kami ambil, yaitu untuk merayakan ulang tahun di sebuah sanggar anak jalanan. Perayaan ulang tahun kami yang ke-10 ini akan dihadiri oleh anak-anak jalanan, teman-teman sekolah, dan teman-teman gereja. Tante Santa dan ibu bangga melihat keputusan kami. Mereka bangga karena kami sudah mampu untuk berbagi kebahagiaan kepada orang lain.
Hari terakhir di sekolah sebelum libur Natal dan Tahun Baru. Buku mewarnai itu tinggal tersisa tiga halaman. Samuel membawa banyak cokelat ke sekolah. Ia membagi-bagikannya kepada seluruh teman di kelas, kecuali aku. Aku protes dan marah padanya. Ia membalas hanya dengan kedipan mata dan senyum khasnya. Aku tahu ia merencanakan sesuatu. Sebelum Bu Agnes menutup hari dengan berdoa, Samuel mengundang seluruh teman untuk datang ke perayaan ulang tahun kami. Lonceng sekolah berbunyi, seluruh anak berlarian keluar kelas. Libur telah tiba. Aku tetap berjalan perlahan seperti biasa, menunggu sahabatku, Samuel.
Siang itu setelah pulang sekolah, Samuel memberikanku satu kotak besar cokelat. Belum pernah aku melihat kotak cokelat sebesar yang diberikannya padaku. Katanya, ini sebagai ganti yang tadi. Ia sudah merencanakan sebuah kejutan untukku, dan aku sudah mengetahuinya. Kami berbincang-bincang sambil melahap cokelat itu bersama. Enak sekali. Kami juga tertawa terbahak-bahak ketika menyadari gigi kami yang kotor. Sore menjelang, memaksa kami mengakhiri kebersamaan kami. Ibu telah menjemput kami berdua.
Kabar buruk melanda malam harinya. Keadaan Samuel kritis dan ia dibawa ke rumah sakit. Aku, ayah, dan ibu pergi menjenguk Samuel di rumah sakit. Di sana, Om Josua dan Tante Santa tampak panik. Belum pernah aku melihat mereka sepanik ini. Ada juga beberapa kerabat keluarga mereka yang datang. Mereka tampak membicarakan sesuatu. Ibu pergi menghampiri Tante Santa. Dari jauh, aku melihat ibu mendekap erat Tante Santa. Tante Santa menangis. Malam itu kami menginap di rumah sakit, aku tertidur di pelukan ayah.
Pagi harinya, mama memberitahu aku bahwa tadi malam Samuel terkena serangan jantung. Samuel masih dalam keadaan kritis. Serangan jantung ini dipicu karena tekanan darah Samuel yang naik drastis setelah makan cokelat dalam jumlah besar. Aku terkejut dan tidak percaya. Aku baru sadar, kemarin siang Samuel dan aku terlalu banyak makan cokelat. Kami berdua menghabiskan sekotak besar cokelat bersama. Dan mungkin, apa yang menimpa Samuel saat ini adalah karena kesalahanku. Aku menangis dalam pelukan ibu. Sesaat dalam pikiranku, aku amat takut kehilangan Samuel sahabatku.
Dua hari menjelang ulang tahun kami. Samuel masih belum sadar dari keadaannya sekarang. Tante Santa terus duduk di sebelah Samuel. Tante Santa terus berdoa untuk Samuel. Kadang aku melihatnya meneteskan air mata. Sore itu, ketika aku diantar pulang ayah, aku sempat mewarnai buku mewarnai milik Samuel dan aku. Samuel pernah berpesan suatu kali, bahwa aku harus tetap mewarnai saat ia sakit. Dan itu aku lakukan sambil menangis sesunggukkan. Aku masih merasa bersalah. Aku takut kehilangan dia.
Satu hari menjelang ulang tahun kami. Pagi ini aku sudah ada di rumah sakit. Aku masuk ke ruangan Samuel dirawat bersama ayah dan ibu. Tante Santa masih pada posisi yang sama seperti kemarin. Aku memegang tangan Samuel. Tiba-tiba ada respon yang aku rasakan. Tangan Samuel seperti bergerak. Tante Santa juga merasakannya. Setelah itu dokter memeriksa keadaan Samuel dan berbincang-bincang dengan Om Josua. Om Josua menceritakan kepada kami semua bahwa keadaan Samuel perlahan-lahan mulai membaik. Ia berterima kasih padaku. Sentuhan tanganku membuat Samuel lebih bersemangat melawan masa-masa kritis yang dialaminya.
Sore itu, aku kembali mewarnai buku milik kami di meja di samping tempat tidur Samuel. Ia sudah bisa membuka mata dan tersenyum. Ya, senyum yang sama ketika pertama kali kami bertemu. Ia amat senang. Buku mewarnai itu telah selesai diwarnai semuanya. Aku sempat menunjukkan halaman-halaman penuh warna itu kepadanya. Ia membalasnya dengan tersenyum kecil. Peralatan yang ada di mulut, hidung, dan dadanya membuatnya sulit berkata-kata. Aku amat bahagia. Senyum itu sudah cukup bagiku.
Esok harinya, perayaan ulang tahun tetap dilaksanakan. Perayaan ulang tahun kami di sanggar anak jalanan dihadiri banyak orang. Aku memakai kemeja baru yang dibelikan ibu. Sebelum ke sanggar, ibu dan aku menuju rumah sakit. Kami akan menjemput Samuel. Ia tampak rapi juga dengan kemeja baru dan wajah yang berseri-seri. Sekali lagi aku ingin menghentikan waktu. Aku amat bahagia. Bahagia.
Kami berangkat bersama. Ketika tiba di sanggar, sudah banyak teman yang datang. Acara berlangsung cepat, karena Samuel hanya diijinkan dokter keluar selama satu jam. Samuel dan aku bersama-sama meniup lilin berbentuk angka 1 dan 0. Ya, ini adalah perayaan ulang tahun kami yang ke-10. Acara tiup lilin telah selesai, tetapi Samuel tidak mau kembali ke rumah sakit. Ia masih ingin merayakan ulang tahunnya bersama anak-anak jalanan dan teman-teman lain. Tante Santa terlihat cemas, tetapi ia tidak mau memaksa Samuel.
Keadaan menjadi tak terkendali ketika tiba-tiba Samuel terjatuh. Ia terjerembab ke lantai saat ingin mengambil kue. Om Josua dan Tante Santa histeris dan langsung membawa Samuel ke rumah sakit. Aku dan ayah juga langsung menyusul. Ibu tetap tinggal untuk menjaga agar pesta tetap berjalan. Tiba di rumah sakit, yang kulihat hanya orang-orang yang menangis. Om Josua dan Tante Santa menangis. Beberapa kerabat keluarga mereka pun menangis. Perasaan itu muncul kembali. Aku rasa aku telah kehilangan sahabatku. Dan benar, sesaat kemudian ayah kembali dan memberi tahu aku bahwa Samuel telah kembali ke Sorga, ia telah bertemu dengan Tuhan Yesus. Ia pergi meninggalkan kami semua, tepat di hari ia berulang tahun. Kenanganku terlontar saat kami pertama bertemu, hari-hari kami bermain dan belajar bersama, dan saat terakhir Samuel dan aku makan cokelat bersama siang itu. Aku menangis dan terus menangis.
Keesokan harinya, Samuel dikuburkan. Banyak orang yang datang, aku pun melihat ada teman-teman sekolah dan gereja. Setelah acara selesai, Tante Santa memelukku erat dan mengucapkan terima kasih untuk persahabatanku dengan Samuel. Begitu pula dengan Om Josua. Ia juga meminta kepada ayah dan ibu untuk mengijinkan mereka menganggapku sebagai anak mereka. Ayah dan ibu mengangguk pelan. Hari itu aku telah kehilangan sahabat terbaik yang pernah kumiliki dalam hidup selamanya. Selamanya.
Sore harinya, Tante Santa menyuruhku datang ke rumahnya. Ia memberikan kertas kecil berisi tulisan Samuel kepadaku. Samuel menuliskannya sesaat sebelum aku datang ke rumah sakit di hari ulang tahun kami.
“Terima kasih untuk semuanya, sahabat. Tak pernah aku bayangkan memiliki segalanya bersamamu. Selamat mewarnai. Dan teruslah mewarnai hidup orang-orang di sekitarmu. Aku tinggalkan buku mewarnai punyaku sebagai kenangan. Dari sahabatmu, ‘Maestro Matematika’, Samuel.”
Aku menangis membaca tulisan itu. Tante Santa memelukku erat. Samuel lupa, bahwa sebenarnya aku tidak pernah mewarnai kehidupannya. Dialah yang mewarnai kehidupanku. Dialah pemberi warna di dalam hidup orang-orang di sekitarnya, termasuk kepadaku, ‘Maestro Seni’, sahabatnya.
Sahabat terbaikku, Samuel
sebuah kisah sedernaha mengenai arti hidup dan persahabatan, dituliskan oleh Daniel Christian