Selamat Bermisi Sahabat!
“Iya ce, ada misi yang harus aku lakukan saat pulang kampung nanti,” itulah yang dikatakan oleh sahabat saya, Cavin Simorangkir. Pagi itu, bersama dengan Kristio Rapi dan Yosua Lukita, kami berempat membahas mengenai misi yang harus kami lakukan pada liburan ini. Malam sebelumnya, kami berbincang mengenai banyak hal, mulai dari kegiatan studi dan pelayanan, keluarga, hingga hal-hal yang ingin dilakukan selama liburan. Makna dari bermisi akhirnya saya peroleh di pagi itu.
Definisi Bermisi
Jadi tidak salah rupanya Cavin berkata-kata di pagi itu bahwa ia akan balik ke Medan untuk satu misi, yaitu bagi keluarganya. Ia ingin melakukan sesuatu bagi dan di keluarganya, terkhusus bagi adiknya. Ia juga berujar bahwa hal yang sama juga akan dilakukan oleh beberapa teman yang lain—yang ternyata juga saya kenal selama ini.
Tidak dapat dipungkiri, PMK ITB merupakan tempat yang nyaman bagi kita semua dalam pengenalan akan Kristus. Bukanlah suatu kebetulan—itulah yang saya imani setidaknya—berada di dalam komunitas orang-orang Kristen di salah satu kampus terbaik bangsa ini. Saya dapat belajar banyak hal mengenai Kristus, tentang iman dan pelayanan, mengenai kasih, pemuridan, dan masih banyak lainnya. Bersama-sama dengan sesama teman yang juga ingin bertumbuh, kita menemukan zona nyaman di dalam kampus ini. Pokoknya, semuanya terlihat begitu lancar dan mudah. Enak pisan euy! Selalu ada teman yang mengerti dan mendukung, bahkan mendoakan kita. Selalu ada panutan juga yang dijadikan teladan.
Urgensi Bermisi
Tetapi zona nyaman di PMK ini juga sering membuat kita lupa bahwa masih ada dunia di luar sana. Tidak perlu jauh-jauh bicara soal Bangsa Indonesia, Kampus ITB, himpunan atau unit. Kita akan mulai dari keluarga kita sendiri. Ada loh orang-orang yang malas pulang ke rumah karena tidak nyaman akibat adanya masalah. Mungkin masalahnya sudah lama dan belum diselesaikan. Seluruh daya dan perhatian keluarga akhirnya habis untuk menyelesaikan masalah tersebut. Ujungnya, mereka seperti lari dari masalah. Daripada pusing mikirin, mendingan aku tetap di Bandung, melakukan ini dan itu.
Lahir dari keluarga Kristen, saya amat bersyukur kepada Tuhan. Kedua orangtua saya mendukung setiap hal yang saya lakukan, termasuk di dalam studi dan pelayanan. Dari sesi curhat sepanjang pagi itu, saya menjadi sadar bahwa tidak semua orang seberuntung saya. Ya, itulah yang saya rasakan. Ada teman yang orangtuanya melarang menuliskan status-status yang memberkati di jejaring sosial. Ada juga yang orangtuanya melarang untuk aktif di beberapa kegiatan. Ada juga yang orangtuanya terlalu sibuk sehingga dia merasa tidak diperhatikan. Selain itu, beban di dalam keluarga terkait masalah ekonomi dan sosial. Intinya, ada masalah yang menjadi beban mereka. Dan liburan ini menjadi ajang untuk bermisi, untuk melakukan sesuatu, untuk menyelesaikan masalah itu.
Bicara keluarga berarti bicara hal yang sangat sensitif. Di situ ada papa dan mama yang sudah membesarkan kita sejak kecil. Di situ juga ada saudara-saudara yang begitu mengasihi kita. Ada pula keluarga besar yang sedikit banyak memegang peranan penting di dalam hidup kita sekarang. Salah-salah ucap masalah bisa tambah runyam. Salah-salah bertindak, malah bisa dibilang tidak hormat pada orangtua. Ah,pokoknya ribet! Makanya, enakan kabur, tetap di Bandung. Gak usahlah coba-coba menyelesaikan masalah!
Bermisi dalam Keluarga
Eh, eh, tapi mereka kan tetap keluarga kita. Itu tetap saja papa dan mama kita. Yang itu juga tetap saudara dan keluarga besar kita. Masak karena takut ini dan itu malah kita seakan-akan lari dari masalah sih? Malahan benar, ini adalah kesempatan bagi kita untuk meaplikasikan semua hal yang telah kita peroleh dalam pengenalan akan Kristus di kampus ini. Yeay! Mulai dari mendoakan keluarga kita. Kemudian, kita bisa adakan kebaktian atau doa bersama keluarga. Di luar, kita bisa jadi contoh yang baik kepada teman-teman kita, dengan menjaga perkataan serta mengucapkan kebenaran. Akhirnya, kita bisa menutup misi kita dengan memberitakan Kristus.
Memang pelaksanaannya tidak akan pernah semudah pendekatan teoritis yang aku tulis di atas, malahan tidak akan pernah. Pasti ada kesulitannya. Pasti ada ganjalan dan rasa sungkan atau tidak enak. Cuma itulah yang harus kita lakukan. Menjadi saksi dari sebuah tindakan kejahatan aja susah, mesti mengikuti prosedur ini dan itu, datang pemeriksaan di Kantor Polisi, merelakan waktu dan tenaga, bahkan sampai hilangnya privasi kehidupan. Apalagi menjadi saksi Kristus, tidak mudah dan tidak enak. Resikonya banyak. Tetapi kabar bahagianya, Kristus akan selalu menyertai kita sampai kapan pun (Mat 28:20b). Lakukan yang terbaik, dan biarkan Tuhan sendiri yang menyelesaikan sisanya. Mantap bukan?
Kalau di kampus ini kita bisa mengubahkan kehidupan orang lain, melalui sharing, pemuridan, atau pelayanan, masakan kita tidak rindu kehidupan teman sepermainan kita juga diubahkan? Masakan kita tidak ingin rindu keluarga kita bisa mengenal Kristus dengan lebih baik lagi? Huh, maafkan saya kalau saya terlalu keras, hihi. Hanya saja, kita harus selalu mulai segalanya dari diri kita sendiri, terlebih keluarga kita. Membereskan semua masalah yang ada pasti akan mempermudah jalan kita ke depannya. Jika beban-beban yang semestinya tidak kita tanggung itu dapat kita tinggalkan, pastilah kita dapat berlari jauh lebih kencang. Berlari dengan senyum tulus dan bukan dengan senyum dan kebahagiaan semu.
Sumber Gambar : BlogSpot