Waktu yang Tidak Akan Kembali
Saya begitu bersyukur saat memperoleh kabar bawa saya sudah diterima bekerja di ABB Indonesia awal November kelak. Bekerja di perusahaan penyedia peralatan listrik dan elektronika kelas dunia mungkin adalah cita-cita saya selama ini. Saya katakan mungkin karena sebenarnya dalam angan-angan, saya akan bekerja di salah satu BUMN di Indonesia atau sebagai PNS di sebuah kementrian terkait energi listrik. Kabar diterimanya saya bekerja di Jakarta membuat saya senang sekaligus sedih. Senangnya sudah saya ceritakan, bukan? Sedihnya adalah saat saya menyadari bahwa waktu-waktu saya di Bandung sebentar lagi akan habis.
Waktu yang Tidak akan Kembali
Setiap kali makan dan berbincang-bincang bersama dengan teman-teman, saya selalu ingin menghentikan waktu. Saya amat bersukacita ketika kami tertawa bersama akan hal-hal yang lucu, saat menceritakan masalah pelajaran yang sulit dan nilai-nilai yang turun, bahkan saat bercerita soal keluarga dan teman hidup. Terlalu banyak memori yang indah yang saya miliki di empat tahun masa perkuliahan ini. Bahkan di saat saya akhirnya lulus duluan bersama dengan Chandra di bulan Juli kemarin–meninggalkan Mada, Edo, Kharisma, dan Agnes–kami masih sering berkumpul dan saling membantu mengerjakan tugas akhir. Saya ingin waktu berhenti berputar.
Masa-masa ini kadang berganti dengan amat cepat. Masa-masa kebersamaan akan segera habis seiring dengan selesainya masa studi sarjana kami. Ada yang berencana melanjutkan studi, ada pula yang ingin langsung bekerja, atau seperti saya yang ingin studi sambil bekerja. Kebersamaan ini mungkin akan lenyap dari hidup saya selama-lamanya. Mada dan Chandra mungkin akan tinggal di Bandung. Edo dan Agnes akan tinggal di Medan, Kharisma akan ke Siantar, sedang saya akan di Jakarta. Kisah hidup ini akan terus berlanjut. Dengan atau tidak tanpa teman-teman, saya harus terus melalui hidup ini.
Masa-masa ini akan menjadi kenangan. Kenangan yang indah.
Waktu dalam hidup kita mengalir bagaikan air sungai yang tidak dapat kita tarik kembali. Air itu mengalir dengan cepat. Jarang kita sadari bahwa semakin lanjut usia kita semakin cepat pula sang waktu mengalir.
Sebuah ukiran di lonceng Katedral Chichester berbunyi:
When as a child I laughed and wept, time crept.
When as a youth I dreamed and talked, time walked.
When I became a full-grown man, time ran.
And later as I grew, time flew.
Soon, I shall find while travelling on, time gone!
Will Christ have saved my soul by then?
Terjemahan bebasnya berbunyi demikian:
Ketika sebagai anak kecil aku menangis dan terbahak, sang waktu merangkak.
Ketika aku remaja aku bermimpi dan penuh gagasan, sang waktu berjalan.
Ketika aku dewasa, sang waktu berlari.
Kemudian ketika usia senja menjelang, sang waktu terbang.
Lalu, ketika masih menikmati perjalanan, sang waktu tiba-tiba pergi!
Apakah sepanjang waktu itu aku sudah diselamatkan Kristus?
Sumber gambar : Blogspot