Jumat Agung dan Kebebasan Beragama
Kita tentu masih ingat betul dengan apa yang dialami oleh Kaum Minoritas Ahmadiyah di Lombok dan Banten. Ada pula peristiwa yang menimpa Jemaat Syiah di Madura yang menjadi bulan-bulanan Islam mayoritas. Mereka bertindak brutal, menumpas orang-orang yang mereka anggap penoda dan penyesat agama.
Tidak hanya Agama Islam, kita juga mendapati umat beragama Kristen pun mengalami peristiwa hampir serupa. Serangkaian pemboman dan pengrusakan gereja-gereja di tanah air, upaya pembunuhan penatua jemaat sempat beberapa kali terjadi. Dan yang terakhir adalah intimidasi warga sekitar kepada umat yang mau beribadah. Tidak hanya korban kekerasan fisik saja, korban kekerasan psikis pun terus berjatuhan.
Apa yang terjadi di Indonesia sekarang ini sesungguhnya adalah peristiwa ulangan dengan apa yang terjadi hari Jumat dua ribu tahun silam. Persis sama dengan saat penyaliban Yesus. Orang-orang yang merasa diri benar dan taat agama menjadi marah melihat ada pihak-pihak yang memiliki kepercayaan berseberangan. Dengan tekad mengembalikan kemurnian agama, mereka mengangkat senjata, tidak segan-segan melukai dan membinasakan orang-orang yang “berbeda”. Mereka tidak kenal yang namanya perbedaan, sebab mereka berpikir bahwa agama merekalah yang absolut. Agama mereka yang benar. Kalau ada yang ajarannya berseberangan, mereka harus menumpasnya demi menegakkan kebenaran agama.
Tanpa kita sadari, paham-paham seperti ini sudah menyerap masuk ke masyarakat Indonesia. Lihat saja buktinya saat Pemerintah kewalahan dan tidak bisa menanggapi peristiwa kekerasan beragama. Pemerintah seakan-akan kehilangan wibawanya, tidak tahu apa yang mesti diperbuat. Isu kebebasan beragama pun menjadi hangat dan sempat ingin dibawa ke Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Negara dinilai gagal melindungi kebebasan beragama seluruh rakyatnya.
Bagaimana kita menyingkapi permasalahan kebebasan beragama ini? Mungkin ada baiknya apabila kita kembali melihat Dasar Negara kita, yaitu Pancasila. Pancasila jelas-jelas memberi kita petunjuk dalam menyelesaikan masalah-masalah bernegara. Sila pertamanya berbunyi sebagai berikut, Ketuhanan yang Maha Esa. Apa artinya? Seluruh Bangsa Indonesia meyakini satu Tuhan. Hanya ada satu Tuhan yang esa, yang absolut. Tidak ada yang lain.
Apa implikasinya? Karena hanya Tuhan saja yang absolut, kita tidak boleh meng-absolut-kan yang lainnya, termasuk agama dan kepercayaan. Kita tidak boleh memutlakkan ajaran agama. Menganggap bahwa hanya agama saya yang benar, sedang yang lain tidak benar, yang lain sesat.
Menghormati keyakinan agamawi kita itu bagus. Tapi jangan memper-Tuhan-kannya. Kita percaya agama kita itu baik. Tapi orang beragama lain jangan dikatakan musuh. Meyakini kebenaran agamawi kita itu baik. Tapi jangan mempersetankan yang lain. Kita rela mati demi keyakinan agama, tapi tidak perlu membunuh yang lain. Kita tidak memperjualbelikan prinsip agama, tapi tak perlu menutup hati dan telinga untuk saling belajar dari yang lainnya.
Hari Jumat itu, orang-orang Yahudi mengaku berhasil membela kebenaran dan kemurnian agama. Mereka berhasil membunuh orang yang punya kepercayaan berseberangan. Mereka mengaku berhasil menumpas penghujat dan penyesat agama.
Hari Jumat Agung tahun ini kembali datang. Harapan kita semoga apa yang terjadi hari Jumat itu tidak kembali terulang. Tidak ada lagi pembunuhan, tidak ada lagi korban yang harus jatuh atas nama membela kebenaran dan kemurnian agama. Seluruh rakyat Indonesia bisa dengan bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya masing-masing. Kebebasan agama terjamin.
sumber gambar : blogspot
Recommended for you
Baca Halaman Selanjutnya 1 2
3 thoughts on “Jumat Agung dan Kebebasan Beragama”