Anugerah Allah: Allah yang Berdaulat
Anugerah seringkali dipertanyakan orang. Mengapa Allah memberikan kepada si A, tapi tidak kepada si B? Mengapa si C yang lebih rajin beribadah namun tidak seberuntung si D yang malas-malasan? Mmm, saya rasa semua dari kita pernah berpikir seperti itu bukan? Anugerah sepertinya identik dengan “ketidakadilan”.
Mengapa ada banyak “ketidakadilan” dalam kisah-kisah di Alkitab? Ada orang saleh namanya Ayub. Namun meskipun demikian, Ayub justru mengalami penderitaan luar biasa. Sekujur badannya diserang penyakit, kesepuluh anaknya mati, bahkan istri dan teman-temannya pun ikut mencela dan menuduhnya. Lalu mengapa Allah membiarkan Kain membunuh Habel, Yakub menipu ayahnya? Mengapa Daud, anak muda penjaga domba malah diurapi menjadi raja? Mengapa Bangsa Israel yang dipilih menjadi Umat Allah? Ya, masih banyak lagi kisah-kisah “ketidakadilan” lainnya dalam Perjanjian Lama. Puncaknya di Perjanjian Baru, saat Yesus menjungkirbalikkan pengertian kita mengenai “Anugerah Allah” lewat perumpamaan-perumpamaan.
Allah yang Berdaulat
Mari kita melihat perumpamaan Yesus mengenai pekerja kebun anggur. Dalam cerita Bangsa Yahudi, biasanya orang yang telat bekerja akan bekerja dengan sangat giat agar sang tuan mau memberi upahnya lebih, syukur-syukur upah satu hari. Tapi berbeda dengan kisah Yesus. Orang yang bekerja dari pagi hari, siang hari, bahkan dari sore hari, semuanya mendapatkan upah yang sama. Coba pikirkan upah kerja 1 jam sama dengan upah 12 jam, bagaimana bisa?
Perumpamaan Yesus sangat tidak masuk akal, mungkin itu yang terbersit dalam pikiran kita. Namun, itulah makna perumpamaan itu. Yesus ingin menegaskan bahwa anugerah Allah tidak bisa diukur seperti mengukur upah harian. Anugerah bukan berarti siapa yang mulai duluan atau belakangan, siapa yang bekerja lebih banyak, anugerah bukan suatu yang bisa diukur. Kita menerima anugerah sebagai pemberian Allah, dan bukan karena usaha yang telah dilakukan. Yesus menegaskannya dalam Matius 20:13-15 .
Tetapi tuan itu menjawab seorang dari mereka:
Saudara, aku tidak berlaku tidak adil terhadap engkau.
Bukankah kita telah sepakat sedinar sehari?
Ambillah bagianmu dan pergilah;
aku mau memberikan kepada orang
yang masuk terakhir ini
sama seperti kepadamu.
Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku
menurut kehendak hatiku?
Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati?
Kain, apakah engkau iri hati karena Aku menerima persembahan Habel? Saul, apakah engkau iri hati karena Aku memilih Daud menggantikanmu? Orang-orang Yahudi, apakah engkau iri hati karena orang Yunani pun bisa menerima keselamatan? Apakah engkau iri hati karena Aku mendengarkan doa pemungut cukai daripada doa Ahli Taurat? Apakah engkau iri hati karena Aku menjanjikan surga bagi penjahat yang disalib disamping-Ku? Allah lah satu-satunya pribadi yang berdaulat menentukan kepada siapa Dia akan memberikan anugerah.
Kita mungkin sering keliru berpikir. Berpikir bahwa dengan semakin giat kita bekerja dan berusaha, maka akan semakin banyak anugerah yang didapat. Itu salah. Kita melupakan poin penting perumpamaan Yesus. Allah memberi anugerah, bukan upah. Tidak ada yang layak mendapatkan upah berupa anugerah dari Allah. Bahkan kalau mau jujur, maut adalah upah yang pantas untuk kita. Tapi sekali lagi, hanya karena anugerah Allah saja, kita dilayakkan di hadapan-Nya dan diselamatkan.
Seperti perkataan Robert Farrar Capon: “Kalau dunia bisa diselamatkan dengan perbuatan baik, maka sang Juruselamat adalah Musa, bukan Yesus.” Yesuslah sang Juruselamat, menyelamatkan kita dari belenggu dosa dan menyucikan hidup kita. Yesuslah sang Juruselamat, kita selamat bukan karena tindakan dan usaha sendiri. Hanya karena anugerah Allah. Ya, karena anugerah Allah saja.
1. Anugerah Allah: Pembukaan
2. Anugerah Allah: Apa yang Allah Perbuat Untuk Kita
3. Anugerah Allah: Allah yang Berdaulat
4. Anugerah Mengalahkan Murka Allah
5. Anugerah Gratis tapi Tidak Murahan
Sumber Gambar : BlogSpot