Bagaimana seharusnya sikap orang Kristen terhadap wabah COVID-19
Seluruh dunia kini tengah menghadapi serangan wabah Corona Virus Disease 2019 atau COVID-19. Setelah sempat hanya menyerang wilayah Provinsi Hubei dan kota Wuhan di Tiongkok, kita virus mulai menyebar ke negara-negara lain termasuk juga Indonesia. Sampai dengan malam saat saya menulis tulisan ini, sudah lebih dari 170 orang dipastikan positif virus korona dan harus diisolasi di lembaga-lembaga kesehatan. Beberapa kasus yang kemudian penderitanya meninggal dunia, juga menambah kepanikan. Hal ini juga mengundang pertanyaan mengapa Allah memperbolehkan penyakit ini muncul (exist) dan apakah berbagai wabah ini merupakan pertanda akhir zaman. Lalu, bagaimana seharusnya sikap orang Kristen terhadap wabah COVID-19?
Alkitab, khususnya Perjanjian Lama, merekam berbagai peristiwa ketika Allah mencurahkan tulah berupa wabah penyakit atau pandemi atas umat-Nya serta atas musuh-Nya “dengan maksud supaya engkau mengetahui, bahwa tidak ada yang seperti Aku di seluruh bumi” (Keluaran 9:14,16). Allah menggunakan tulah untuk memaksa Firaun Mesir membebaskan orang Israel dari perbudakan, tetapi melindungi umat-Nya supaya tidak terpengaruh olehnya (Keluaran 12:13; 15:26). Dalam hal ini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Allah tetap berkuasa penuh atas segala macam tulah atau pandemi.
Allah juga telah menghimbau umat-Nya akan akibat dari pelanggaran mereka, termasuk tulah (Imamat 26:21,25). Allah membinasakan 14,700 jiwa dan 24,000 jiwa atas berbagai pelanggaran mereka (Bilangan 16:49 dan 25:9). Setelah pemberian Hukum Musa, Allah memerintah supaya bangsa itu menaatinya atau mengalami berbagai kemalangan, yang salah satu di antaranya terdengar seperti gejala Ebola: “TUHAN akan menghukum kamu dengan penyakit-penyakit menular, bengkak-bengkak dan demam…Bencana-bencana itu terus menimpa kamu sampai kamu binasa” (Ulangan 28:22). Ini hanya beberapa contoh saja dari berbagai tulah dan penyakit yang Allah sebabkan.
Kadang sulit membayangkan Allah kita yang mengasihi dan berbelas kasihan, mengungkapkan amarah terhadap ciptaan-Nya. Namun hukuman dari Allah selalu bertujuan mengundang pertobatan dan pemulihan. Di dalam 2 Tawarikh 7:13-14, Allah berkata pada Salomo, “Apabila Aku tidak menurunkan hujan atau Aku mengirim belalang untuk menghabiskan hasil bumi atau mendatangkan wabah penyakit ke atas umat-Ku, lalu umat-Ku yang memakai nama-Ku itu merendahkan diri, dan berdoa serta datang kepada-Ku dan meninggalkan perbuatan mereka yang jahat, maka dari surga Aku akan mendengar doa mereka. Aku akan mengampuni dosa-dosa mereka dan menjadikan negeri mereka makmur kembali.” Dalam perikop ini kita melihat bagaimana Allah menggunakan bencana untuk menarik kembali umat-Nya, untuk menghasilkan pertobatan dan keinginan kembali pada-Nya bagaikan anak-anak pada Bapa surgawi mereka.
Di dalam Perjanjian Baru, Yesus menyembuhkan “segala penyakit dan kelemahan,” serta wabah yang dialami di tempat yang Ia kunjungi (Matius 9:35; 10:1; Markus 3:10). Sama-halnya ketika Allah menggunakan tulah dan wabah untuk mengungkapkan kuasa-Nya pada Israel, Yesus menunjukkan kuasa dengan menyembuhkan sebagai ungkapan bahwa Ia benar-benar Sang Anak Allah. Ia mengaruniakan kuasa penyembuhan pada para murid-Nya untuk membenarkan pelayanan mereka (Lukas 9:1). Allah masih memperbolehkan penyakit menurut rencana-Nya, namun terkadang penyakit, bahkan penyakit pandemi global, merupakan resiko hidup di dunia yang berdosa. Tidak ada cara memastikan apakah sebuah penyakit pandemi disebabkan oleh pelanggaran rohani khusus, namun kita tahu bahwa Allah berdaulat atas segala sesuatu (Roma 11:36) dan Ia selalu turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia (Roma 8:28).
Munculnya penyakit pandemi mungkin dan mungkin juga tidak berkaitan dengan hukuman Allah atas dosa. Mungkin saja ialah resiko hidup di dunia yang berdosa. Karena tidak ada yang mengetahui persis kedatangan Yesus yang kedua, kita harus berhati-hati dalam mengatakan bahwa penyakit pandemi merupakan bukti bahwa kita tinggal di akhir zaman. Bagi mereka yang belum mengenal Yesus Kristus sebagai Juruselamat, penyakit adalah peringatan bahwa kehidupan di bumi itu rapuh dan dapat hilang dalam sekejap. Separah-parahnya penyakit pandemi, neraka jauh lebih menyengsarakan. Orang Kristen mempunyai jaminan keselamatan dan harapan yang kekal karena darah Kristus telah tercurah di atas salib bagi kita (Yesaya 53:5; 2 Korintus 5:21; Ibrani 9:28).
Bagaimana seharusnya sikap orang Kristen terhadap wabah Covid-19? Pertama, jangan panik. Allah masih memegang kendali. Alkitab menyampaikan pesan sejenis “jangan takut” lebih dari 300 kali. Selain itu, kepanikan tidak akan mengubah apapun, malahan kita menjadi tidak bisa berpikir jernih dan–menurut berbagai sumber–kepanikan malah akan menurunkan imunitas/ kekebalan tubuh. Yang kedua, hiduplah dengan bijak. Ambil langkah yang diperlukan untuk menghindari terpaparnya penyakit dan berusaha melindungi dan memelihara keluarga Anda. Dan yang ketiga, kita juga harus berupaya menjaga kebersihan, makan makanan yang bergizi untuk meningkatkan imunitas tubuh. Ketiga, tetap berdoa dan selalu andalkan Tuhan dalam segala hal.
Sumber gambar: BaliDiscovery