Bersukacita Saat Memikul Salib
Sambil membaca beberapa kesaksian dan permohonan doa dari pembaca yang dikirimkan kepada danielnugroho.com, saya jadi teringat tentang sabda Tuhan Yesus yang menyuruh memikul salib untuk mengikut Yesus. Saat itu, Yesus berkata, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, Ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku” (Luk. 9:23). Salib yang mesti kita pikul adalah salib kita masing-masing. Memikul salib sendiri.
Apakah itu salib? Salib bukan balok kayu secara fisik, namun lebih bermakna penderitaan sebagai bentuk pengorbanan. Penderitaan yang kita alami saat bersekolah, bekerja, dan berkeluarga. Semua penderitaan ini sesungguhnya berasal dari pengorbanan. Pengorbanan diri supaya tidak mengganggu orang lain. Pengorbanan diri agar orang lain bahagia. Kalau buat teman-teman pengorbanan mungkin masih terdengar abstrak dan sulit dimengerti, maka bisa membayangkan rasa sedih yang muncul dan harus kita tanggung tanpa kita tahu penyebabnya. Salib ada yang harus kita pikul sendirian, namun kebanyakan salib harus dipikul di dalam satu keluarga. Ayah dan ibu, anak-anak, mertua atau orangtua semua memikulnya.
Salib di dalam keluarga ada banyak, ada keluarga yang kesulitan membayar uang kuliah anaknya atau keperluan sehari-hari. Ada keluarga yang harus berjuang berjualan makanan karena ayah kehilangan pekerjaan. Inilah salib yang harus dipikul. Ada juga seorang anak yang kehilangan orangtuanya karena sakit. Ada juga orangtua yang kehilangan anak satu-satunya karena kecelakaan. Ada juga anak yang tidak merasakan kasih dari orangtua karena orangtuanya bercerai. Keluarga lain memikul salib yang bentuknya lain lagi. Ada suami istri yang tidak mendapatkan anak. Ada juga yang mendapatkan anak dengan kebutuhan khusus. Ada juga yang punya banyak anak, namun anaknya selau menjadi beban pikiran karena sifatnya yang suka bertengkar dan membangkang. Kisah lain lagi, ada keluarga yang harus tinggal di luar negeri karena pekerjaan atau studi dan terpisah dengan kerabatnya.
Dalam kehidupan kita ini, saya sadar bahwa tiap keluarga ada salibnya masing-masing. Ada seribu satu macam salib yang mesti dipikul tiap hari. Memikul salib memang berat, berat di perasaan, berat di pikiran. Tapi memang itulah jalan hidup kita. Kalau kita ingin mengikut Yesus, kita harus memikul salib kita masing-masing, salib di dalam keluarga kita.
Kalau kita melihat keluarga lain, maka kita akan berpikir, alangkah beruntungnya keluarga itu, mereka tidak menghadapi penderitaan. Semua kelihatannya baik dan tidak ada yang sedih. Memang dari luar bisa saja keluarga itu tampaknya tidak dirundung persoalan atau penderitaan. Namun sebenarnya tiap keluarga mempunyai persoalannya sendiri. Ada pepatah yang berkata; tiap rumah ada salibnya. Atau dalam bahasa asingnya: “leder huis heeft zijn eigen kruis”. Atau “Jedes Haus hat sein eigenes Kreuz.”
Dalam memanggil orang-orang untuk mengikut Dia, Tuhan Yesus tidak menjanjikan jalan hidup yang penuh dengan keberhasilan atau jalan hidup yang tidak menghadapi penderitaan. Tuhan Yesus justru mengingatkan bahwa mereka harus mau memikul salib. Bersedia memikul salib merupakan prasyarat untuk mengikut Yesus sebab dalam jalan hidup Yesus pun ada penderitaan.
Ijinkan saya menutup renungan ini dengan lagu yang sering saya dengarkan setiap minggu malam sewaktu berkuliah di Bandung. Lagu ini jadi lagu tema acara mingguan mengenai kesaksian orang-orang yang tetap bisa merasakan kebahagiaan di tengah-tengah kesedihan dan penderitaan yang mereka alami.
Apa yang kau alami kini
Mungkin tak dapat engkau mengerti
Satu hal tanamkan di hati
Indah semua yang Tuhan beri
Tuhanmu tak akan memberi
Ular beracun pada yang minta roti
Cobaan yang engkau alami
Tak melebihi kekuatanmu
Tangan Tuhan sedang merenda
Suatu karya yang agung mulia
Saatnya ‘kan tiba nanti
Kau lihat pelangi kasih-Nya