Dewasa Rohani: Belajar dari Paulus
Di artikel sebelumnya saya telah memberi sedikit ulasan mengenai dewasa rohani. Dewasa rohani itu bukan berarti teman-teman sudah sempurna melakukan seluruh isi Alkitab dan Firman Tuhan. Kedewasaan tidak dilihat dari seberapa murni teman-teman sudah menjalankan hukum Allah. Bila seperti ini definisi kedewasaan rohani, maka saya pikir orang-orang akan bangga dan sombong hanya karena melakukan perintah-perintah agama. Mereka jadi sombong, merasa sudah baik dengan melakukan ajaran agama. Kesombongan ini malah membuat makin jauh dari kasih karunia Allah. Semakin tidak menyadari pentingnya kasih karunia Allah.
Dewasa Rohani: Belajar dari Paulus
Dewasa rohani sesungguhnya adalah kesadaran bahwa saya tidak mampu, saya celaka, tidak bisa menjalankan seluruh ajaran agama. Saya selalu jatuh dan jatuh lagi. Selalu berbuat dosa kepada Allah. Menyadari diri bercela, tidak layak, tidak murni.
Dewasa rohani adalah sadar bahwa diri tidak layak, hina, dan penuh dosa. Sadar bahwa saya akan binasa tanpa keselamatan dari Allah. Kita bisa melihat beberapa contoh kisah pengalaman rohani tokoh-tokoh dalam Alkitab, misalnya Paulus. Paulus menceritakan pengalaman rohaninya sendiri dalam surat-suratnya. Dalam kitab 1 Korintus, saat Paulus baru memulai pelayanannya sebagai rasul, dia menulis: “Karena aku adalah yang paling hina dari semua rasul, bahkan tidak layak disebut rasul…” (1 Korintus 15:9).
Seiring perjalanannya mengikuti Tuhan, Paulus makin sadar akan dirinya sendiri. Dalam Efesus 3:8 Paulus berkata: “Kepadaku, yang paling hina dari semua orang kudus, telah dianugerahkan kasih karunia ini…” Dia menurunkan standarnya, kini menjadi orang yang paling hina dari orang-orang kudus.
Bahkan saat dia menjadi tua dan ada hampir di ujung pelayanannya Paulus menuliskan ini kepada anak rohaninya, Timotius, “Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa, dan diantara mereka akulah yang paling berdosa” (1 Timotius 1:15-16). Paulus sampai pada suatu kesadaran tidak ada lagi kebanggaan pada dirinya, dirinya adalah hina, dan paling berdosa di antara semua orang.
Inilah dewasa rohani itu. Bukan ketika teman-teman bisa melakukan seluruh isi Alkitab. Tapi ketika teman-teman sadar sepenuhnya bahwa saya tidak mampu melakukannya. Saya gagal, hancur, tak mampu, tak berdaya. Tidak ada apa-apa lagi yang saya punya. Tidak ada lagi yang bisa saya lakukan. Saya hanya punya Allah saja.
Kesadaran akan keterbatasan diri dan kebergantungan pada Allah inilah yang akan membuka pintu pada anugerah Allah. Sebaliknya, tanpa kesadaran ini, kita tidak akan pernah sampai pada anugerah Allah.
2 thoughts on “Dewasa Rohani: Belajar dari Paulus”