Eben Haezer
Eben Haezer-Sampai Di Sini Tuhan Menolong Kita
Bayangkan bahwa kita menempuh perjalanan mendaki gunung atau melintas alam. Kita berjalan menuruni lembah dan melewati sawah, menaiki bukit dan menyeberangi sungai. Tentunya kita tidak terus-menerus berjalan. Ada saat-saat di mana kita berhenti dan duduk sejenak.Selain duduk dan beristirahat, apa yang kita perbuatĀ pada saat perhentian? Kita mempelajari peta dan lokasi: di mana kita berada sekarang? Apakah kita tetap berada pada jalur yang sesuai dengan tujuan kita? Atau berapa lagi jarak yang harus kita tempuh untuk mencapai tujuan? Kita memandang kembali jalur-jalur yang sudah kita lewati dan menengok jalan-jalan terjal dan bukit yang masih harus kita daki. Wah, sudah sejauh ini rupanya perjalanan kita. Dan terakhir, kita membuat evaluasi dan menentukan orientasi. Kita mengkonsolidasi diri.
Ada kisah di Alkitab mengenai Samuel yang juga menempuh perjalanan. Sebelas dua belas lah dengan perjalanan yang ada di dalam benak kita. Namun, yang ditempuhnya bukan perjalanan biasa seperti rekreasi atau sekadar hobi, melainkan perjalanan untuk mempertahankan kedaulatan umat Israel dari kuasa bangsa Filistin. Samuel menjadi pemimpin perjalanan bagi bangsa Israel. Di suatu tempat, Samuel dan rombongannya berhenti. Agaknya di situ Samuel pun membuat evaluasi dan menentukan orientasi perjalanannya serta mengkonsolidasi rombongannya. Lalu apa perasaan Samuel ketika ia melakukan hal itu? Menurut catatan Alkitab, “…Samuel mengambil sebuah batu dan mendirikannya…, ia menamai Eben Haezer, katanya: Sampai di sini Tuhan menolong kita” (1 Samuel 7:12). Eben Haezer secara harafiah berarti “batu pertolongan”. Eben Haezer adalah sebuah titik perhentian di mana Samuel dan rombongannya mengaku bahwa Tuhan menolong perjalanan mereka. Dengan rasa terima kasih Samuel menyimpulkan evaluasi perjalanan, “Sampai di sini Tuhan menolong kita.”
Hidup adalah ibarat perjalanan. Ada pelbagai saat atau momen di mana kita berhenti sejenak dan merenung tentang hidup yang sedang kita jalani. Kita beristirahat dan menarik napas jauh lebih dalam daripada sebelumnya. Apa saat-saat itu? Pergantian tahun, itulah saat kita “tutup buku” sambil merenungkan apa yang sudah dan apa yang belum kita perbuat sepanjang tahun atau apa “debit dan kredit” kita di hadapan Tuhan. Bisa juga di hari ulang tahun, saat kita membuat refleksi dari mana dan mau ke mana perjalanan hidup kita ini. Tiap kali kita membuka babak baru dalam hidup, seperti wisuda, memulai pekerjaan baru, pernikahan, pindah rumah, kelahiran anak, itu pun merupakan saat-saat perhentian untuk merenungkan apa arti hidup kita bagi sesama? Juga setiap hari Minggu ketika kita menundukkan diri di hadapan Tuhan, itu pun saat kita menyimak ulang arah perjalanan hidup ini. Bahkan sebenarnya tiap hari perlu ada saat di mana kita berhenti sejenak dan merenungkan langkah-langkah kaki kita dalam perjalanan hidup ini. Apakah sesungguhnya tujuan perjalanan ini telah benar?
Lalu apa perasaan-perasaan kita pada saat perhentian seperti itu? Dengan lega kita menarik nafas panjang dan mengaku bahwa walaupun perjalanan kita berat dan susah, namun kita tiba dengan selamat di saat dan tempat ini. Mungkin saja dalam perjalanan ini kita tergelincir dan tersandung, jatuh bangun, mengalami pahit getir, bahkan seringkali babak belur dan terluka, namun kita sudah berhasil melewati semua itu dengan selamat. Tuhan sudah menolong kita sampai sejauh ini. Sebab itu sebenarnya tiap saat perhentian patut kita sebut Eben Haezer, sampai di sini Tuhan menolong kita.
Eben Haezer-Sampai Di Sini Tuhan Menolong Kita
Tetapi perjalanan kita belum selesai. Ini hanya sebuah saat perhentian. Kita masih perlu meneruskan perjalanan. Kita memandang ke depan, ke lembah dan bukit bahkan jalan terjal yang terbentang luas. Perjalanan kita masih panjang. Mungkin akan ada banyak rintangan dan kesulitan. Jalan di depan kita tidak mudah, mungkin jauh lebih sulit. Bagian yang terberat dan tersulit mungkin justru masih harus kita hadapi. Akibatnya bisa jadi kita merasa cemas, kuatir, dan hidup tak menentu.
Itulah perasaan-perasaan yang wajar muncul di saat perhentian. Kita menengok ke belakang lalu kita merasa lega dan bersyukur. Kita menatap ke depan lalu kita merasa cemas dan tak menentu. Karena itu selain menengok ke belakang dan menatap ke depan, saat perhentian adalah juga waktu untuk menengadah ke atas dan mempercayakan perjalanan hidup kepada tuntunan tangan Tuhan.
Merenung seperti itu pada saat perhentian menjadikan perjalanan hidup bukan sekedar asal jalan dan asal maju. Perjalanan memerlukan tujuan yang jelas dan motivasi yang kuat. Pada saat perhentian kita melakukan tiga hal yang perlu untuk perjalanan: menengok ke belakang, menatap ke depan, dan menengadah ke atas. Lalu kita merasa mantap, “Eben-Haezer, sampai di sini Tuhan menolong kita.”
Hidup memang tidak mudah. Namun kalau kita menengok ke belakang, menatap ke depan, dan menengadah ke atas dengan beriman, maka hidup ini terasa indah. Kita jadi merasa bahwa hidup ini terasa indah. Kita jadi merasa bahwa hidup ini sungguh bermakna. Buktinya Allah sendiri menghargai hidup kita. Ia menolong kita untuk menapaki perjalanan hidup ini.
Kita pun jadi merasa bahwa hidup ini patut dihidupi. “Carpe Diem!” (Latin: “Petiklah Hari!”), maksudnya manfaatkanlah hari, jangan sampai ada hari yang terlewat tanpa arti. Jangan sampai ada hari yang menjadi sia-sia karena kita hanya bermalas-malasan tanpa memberi isi kepada hari itu. Jangan sampai kita melewatkan hari yang malah menjauhkan kita dari tujuan utama kita. Jangan sampai ada hari yang menjadi rusak karena kita mewarnainya dengan rasa benci, iri, atau cuma memikirkan diri sendiri. Jangan sampai ada hari yang terlewat tanpa sukacita. Pengkotbah juga menulis, “… jikalau orang panjang umurnya, biarlah ia bersukacita di dalamnya…” (Pengkotbah 11:7).
Merenung seperti ini membuka mata kita untuk mengaku: perjalanan hidup ini sebetulnya sangat indah. Karena itu, mari kita meneruskan perjalanan ini. Tuhan masih menerbitkan matahari. Kita masih bernafas. Tuhan masih memberi umur. Mari kita jalani terus umur pemberian Tuhan. Mari kita buahkan umur kita menjadi berkat bagi orang lain. Mari kita beri isi dan arti pada umur kita. Mari kita syukuri umur kita. Selamat panjang umur! Sekali lagi: Selamat panjang umur!
–dituliskan kembali di hari ulang tahun ke-21 Daniel Christian dan Nugroho Christian, 07 Desember 2012
Sumber gambar : batu Eben Haezer, Ebenezer
1 thoughts on “Eben Haezer”