Jadilah Tuhan Kehendak-Mu
Jadilah Tuhan kehendak-Mu, itulah pesan yang ingin saya sampaikan di penghujung tahun 2013 ini. Sungguh luar biasa jika kita dapat merenung sejenak ke belakang sepanjang tahun ini. Merenungkan betapa besarnya kasih dan tuntunan Tuhan di dalam kehidupan ini. Mungkin ada suka. Ada pula suka. Ada momen-momen yang membahagiakan. Ada pula momen yang menyayat hati kita. Semua bercampur menjadi satu. Kita pun kembali diperhadapkan kepada masa depan, terkhusus di tahun 2014 nanti. Sudah tentu ada banyak rencana dan cita-cita yang akan kita lakukan ke depannya. Namun, apakah kita sudah melibatkan Tuhan di dalamnya?
Jadilah Tuhan Kehendak-Mu
Di kesempatan hari terakhir tahun 2013 ini saya ingin berbagi kisah mengenai Sarah A. Pollard. Siapa dia? Nanti Anda akan tahu dengan sendirinya. Inilah kisah masa kecilnya: di rumah ia membantah kedua orangtuanya, di sekolah ia melawan gurunya. Di rumah ia disebut keras kepala, di sekolah disebut sebagai kepala batu. Ia luar biasa cerdas dan cepat menangkap bahan pelajaran di sekolah, tetapi ia luar biasa bandel. Ia selalu menjadi anak perempuan paling bandel di kelas. Jika ia mempunyai sebuah keinginan atau kehendak, ia akan berkukuh secara mati-matian untuk meraihnya. Siapa pun yang memberi masukan, tidak akan ia gubris. Ia tidak mau diatur. Tidak soal apakah itu nasihat, masukan, teguran, atau perintah. Semuanya diabaikan begitu saja. Semua tidak ia dengar. Ia hanya mau menuruti keinginannya sendiri. Bahkan ia mengganti nama depan yang diberikan orangtuanya, dari Sarah A. Pollard menjadi Adelaide A. Pollard.
Ia kemudian masuk ke perguruan tinggi terkemuka di Indiana dan Massachusetts. Ia lulus dengan nilai yang sangat baik dan menjadi guru di kota Chicago. Belasan tahun ia menjadi guru , Pollard kemudian tertarik menjadi seorang utusan injil ke Afrika. Ia mempersiapkan diri sebaik-baiknya, namun ia menghadapi dua kendala besar. Badan pekabaran injil tersebut sedang kekurangan dana, ia pun sendiri juga menderita diabetes sehingga ia harus menjalani pengobatan. Apa yang dilakukan Pollard? Ia segera mengambil langkah-langkah untuk mengatasi dua masalah tersebut. Ia menggalang dana dan ia berobat sungguh-sungguh. Bertahun-tahun ia berupaya secara habis-habisan untuk mengejar keinginannya menjadi utusan injil di Afrika, namun hasilnya tak tampak.
Waktu terus berlalu hingga usia Pollard kini 40 tahun. Pintu masuk untuk menjadi utusan Injil di Afrika makin sempit. Ia sungguh kecewa. Ia mulai merasa seakan-akan hidupnya gagal. Ia makin sering murung dan mulai merasa tertekan. Ia menderita depresi yang semakin hari semakin parah. Di tengah-tengah keramaian kota ia merasa sendirian dan sebatang kara.
Pada suatu ibadah hari Minggu, Pollard duduk di sebelah nenek yang sudah renta. Sayup-sayup ia mendengar doa nenek itu, “Lord, it really does not matter what You do with us; have your way with our lives.” Kurang lebih artinya, “Tuhan, tidak jadi soal apa yang Tuhan hendak lakukan dalam hidup kami; jadilah Tuhan kehendak-Mu itu.”
Pollard tersentuh dengan doa yang sayup-sayup ia dengar itu. Sepulang dari gereja itu, Ia terus memikirkan doa itu. Lalu ia membuka kisah Yeremia yang mengunjungi tukang periuk di Yeremia 18:1-6. Tukang periuk itu dengan jari-jarinya membentuk tanah liat menjadi sebuah bejana. Saat ada bejana yang gagal, “Tukang periuk itu mengerjakannya kembali menjadi bejana lain menurut apa yang baik pada pemandangannya” (ayat 4). Lalu Yeremia menulis sabda Tuhan, “Seperti tanah liat di tangan tukang periuk, demikianlah kamu di tangan-Ku” (ayat 6). Pollard merasa dirinya adalah salah satu dari bejana yang gagal itu, yang perlu dibuat lembek lagi menjadi tanah liat untuk dibentuk ulang oleh Tuhan. Selama ini ia terlalu bandel dan bersikukuh ingin menjadi utusan Injil ke Afrika. Padahal mungkin Tuhan mempunyai kehendak lain “yang baik menurut pandangan-Nya.” Ia kemudian teringat pada pergumulan Yesus menghadapi cawan penderitaan-Nya di Taman Getsemani. Yesus berdoa, “..ambillah cawan ini dari hadapan-Ku, tetapi janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki” (Markus 14:36).
Mulai dari hari itu, Pollard merasa terbebas dari segala kegelisahan. Timbul kembali minat dan bakat menulis puisi yang dulu ibunya pernah ajarkan. Puisi yang dituliskan hari itu kemudian menjadi lirik lagu, “Jadilah Tuhan kehendak-Mu”, yang terdapat di dalam NKB 14 dan PKJ 127 di masa kini.
Tulis Pollard,
Have Thine own way, Lord, Have Thine own way!
Thou art potter,being absolute sway
I am the clay
Mold me and make me after Thy will,
While I am waiting, yielded and still.
Have Thine own way, Lord, Have Thine own way!
Search me and try me, Saviour today!
Wash me just now, Lord, wash me just now
As in Thy Presence humbly I bow
Have Thine own way, Lord, Have Thine own way!
Wounded and weary, help me I pray!
Power, all power, surely is Thine!
Touch me and heal me, Saviour divine!
Have Thine own way, Lord, Have Thine own way!
Hold o’er my being absolutely sway
Fill with Thy Spirit till all shall see
Christ only, always, living in me!
Jadilah Tuhan kehendak-Mu
‘ku tanah liat di tangan-Mu.
Bentuklah aku sesuka-Mu,
Aku nantikan sentuhan-Mu
Jadilah Tuhan kehendak-Mu!
Sucikan hati, pikiranku.
Tiliklah aku dan ujilah
‘ku di depan-Mu sujud sembah
Jadilah Tuhan kehendak-Mu!
Segala kuasa di tangan-Mu
Tolonglah, Tuhan, aku lemah
Jamahlah aku, kuatkanlah
Doa nenek di minggu pagi itu dan cerita tentang kita sebagai tanah liat di tangan seorang penjunan, ternyata menjadi titik balik dalam kehidupan Pollard. Ia menyadari bahwa kemauan keras memang bagus, namun perlu diimbangi dengan kesediaan untuk menerima masukan dari pihak lain. Berkukuh dalam suatu rencana memang bagus, namun itu bukan satu-satunya pilihan sebab Tuhan mungkin mempunyai beberapa pilihan yang lebih baik untuk kita. Kukuh dan tangguh memang bagus, tapi kenapa harus angkuh? Bukankah penjunan lebih tahu daripada tanah liat?
Pollard tidak berkukuh lagi untuk menjadi utusan injil ke Afrika. Ia beralih menjadi pengajar untuk para calon misionaris yang dipersiapkan pergi ke Afrika menjadi utusan Injil. Ia amat menyukai pekerjaan ini. Pada akhirnya, memang Pollard mendapat kesempatan pergi ke Afrika. Namun, baru beberapa bulan di sana, Perang Dunia 1 pecah, dan ia harus segera kembali ke Amerika Serikat. Lima hari sebelum Natal 1934, Pollard meninggal dunia akibat serangan jantung. Namun, kisahnya kini memberikan kita pelajaran mengenai kehendak Tuhan dan bukan kehendak kita. Ia yang jauh lebih tahu semua rencana yang terbaik daripada kita sendiri. Bahwa teladan Yesus mengajari kita, “Jadilah Tuhan kehendak-Mu.”
diambil dari: Selamat Sehati, Andar Ismail, dengan beberapa perubahan.
Sumber Gambar : www.jcsio.org