Memikul Salib
Salib, kita melihatnya sebagai tempat di mana Yesus mati dengan kedua tangan dan kaki terpaku. Ia memikul salib itu sampai ke Bukit Golgota lalu kemudian hingga mati tergantung di sana. Salib adalah lambang penghinaan bagi seseorang di jaman tersebut. Orang-orang yang dihukum dengan disalib adalah mereka yang melakukan kejahatan yang tidak termaafkan.
Mari Memikul Salib Kita Sendiri
Yesus sepertinya sudah mengetahui bahwa Ia kelak akan mati disalibkan. Oleh karenanya, Ia mengatakan, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, Ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku” (Luk. 9:23), “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku” (Matius 10:38). Ia memberikan gambaran penderitaan, kesakitan, kesulitan yang kelak akan dihadapi oleh para murid dan para pengikut-Nya. Bahwa benar ada tantangan dan kesulitan yang siap menghadang, tetapi Yesus sudah memberikan teladan memikul salib, dan Ia bisa. Ia berhasil sebab Ia menang dari segala penderitaan dan kesakitan melalui kebangkitan-Nya.
Pajangan salib lengkap dengan Yesus yang terpaku kini terpasang di rumah atau bahkan kamar kita. Kita menaruhnya untuk mengingatkan kita akan sengsara dan penderitaan yang Yesus tanggung untuk kita semua. Namun sesungguhnya ada salib lain yang harus kita pikul setiap hari. Tentu salib itu bukan cuma pajangan yang diam hanya untuk dipandang. Salib itu menekan dan menuntut pengorbanan kita.
Banyak yang berpikir kita harus memikul salib Yesus setiap waktu. Tapi bukan itu makna sebenarnya. Salib yang mesti kita pikul adalah salib kita masing-masing. Salib kita sendiri. Seseorang kehilangan orang yang dia cintai, kini hatinya begitu sedih karena tidak sempat membahagiakan pasangannya. Ada lagi seorang ayah, yang baru saja kehilangan pekerjaannya, padahal anaknya membutuhkan biaya untuk masuk ke SMP. Ada seorang istri yang begitu merindukan suaminya untuk berubah, tidak kasar dan suka memukul lagi. Ada juga seorang anak yang ingin melanjutkan kuliah, tapi ia harus bekerja untuk menyekolahkan adik-adiknya yang lain. Kemudian ada pelayan Tuhan yang bingung, apakah terus melayani sementara keluarganya tidak mengijinkannya.
Para pembaca mungkin dapat melanjutkan kisah-kisah lainnya. Mungkin juga kisah Anda pribadi. Itulah salib yang membuat kita sedih, bingung, kecewa, takut, dan tak bisa berbuat apa-apa. Tetapi salib itu harus kita pikul. Hari lepas hari.
Paskah sebentar lagi akan kita songsong. Salib yang begitu berat itu Yesus pikul sendirian. Hingga akhirnya Ia dipaku dan mati tergantung. Salib yang sama kini juga ada di bahu kita. Mari sejenak merenungkan apa yang Yesus sudah lakukan. Salib kita memang berat, namun Yesus tersenyum dan mengulurkan tangannya, “Ikutlah Aku…”
Sumber gambar: renunganharian.net