Mutiara yang Berharga
Menjadi murid dan mengikuti Yesus adalah suatu keharusan dalam hidup orang percaya. Karena jika memang Yesus yang kita sembah, maka sudah selayaknya kita mengikuti Dia. Melakukan apa yang harus kita lakukan sebagai murid Yesus, yaitu: menyangkal diri, memikul salib, dan mengikuti Yesus. Tentu ada resiko yang akan dihadapi di dalam menjalankan perintah tersebut. Bahkan mungkin tantangan tersebut bisa membuat iman kita kendor dan goyah. Namun, jika Tuhan sudah memilih kita menjadi murid-Nya dan kita mengatakan “iya” untuk ajakan-Nya, maka Tuhan pasti akan menyertai kita dalam menjalankan perintah-Nya dalam kehidupan sehari-hari. Mengikut Tuhan juga berarti kita rela menyerahkan segalanya kepada Dia untuk kemuliaan-Nya. Kitab Injil menggambarkan hal ini dengan perumpamaan mengenai mutiara yang berharga (Matius 13:45-46).
Mutiara yang Berharga
Dengan memakai sedikit imajinasi, mari kita membayangkan betapa besarnya hal yang perlu kita lepaskan bagi Tuhan untuk dapat mengikuti-Nya. Kisah ini saya adaptasi dari perumpamaan mengenai mutiara yang berharga.
“Saya menginginkan mutiara yang berharga ini. Berapa harganya?”
“Wah,” kata penjual itu, “sangat mahal.”
“Tetapi, seberapa mahal?”
“Wah, sangat mahal sekali. Namun, semua orang dapat membelinya,” kata si penjual balik.
“Tetapi, katanya harganya sangat mahal sekali?”
“Betul.”
“Lantas, berapa harganya?”
“Mutiara ini harus ditukar dengan semua yang kamu punya,” jawab penjual itu.
“Baiklah, saya akan membelinya.”
“Baik. Saya setuju. Nah, mari kita catat apa yang kamu miliki.”
“Saya punya satu miliar rupiah di bank.”
“Baik, satu miliar rupiah. Apa lagi?”
“Hanya segitu. Itulah semua uang saya.”
“Tidak ada lagi?”
“Masih ada. Saya punya beberapa ratus ribu di kantong saya.”
“Berapa tepatnya?”
Saya pun mulai merogoh kantong, “Nah ini ada seratus, dua ratus, tiga ratus ribu rupiah.”
“Bagus, apa lagi yang kamu punya?”
“Wah, tidak ada lagi. Hanya segitu.”
“Di mana kamu tinggal?” Penjual itu terus bertanya.
“Di rumah. Ya, saya punya rumah.”
“Kalau begitu, rumahmu juga,” Ia kemudian mencatat lagi.
“Maksudmu, saya harus tinggal di mobil saya?”
“Kamu punya mobil? Kalau begitu, itu termasuk juga. Apa lagi?”
“Kamu sudah mengambil uang saya, rumah saya, dan mobil saya, mau apa lagi?”
“Kamu sendirian di dunia ini?”
“Tidak, saya punya dua orangtua dan beberapa orang saudara..”
“Oh ya, orangtua dan saudara. Apa lagi?”
“Tidak ada lagi, hanya tinggal saya sendiri sekarang.”
Tiba-tiba si penjual itu terparanjat. “Dirimu juga!”Semuanya menjadi milik saya–orangtua, saudara, uang, rumah, dan mobil–juga dirimu.
Kemudian penjual itu berkata, “Sekarang dengarlah, saya akan mengijinkan kamu menggunakan dan memiliki barang-barangmu ini untuk sementara waktu. Tapi, jangan lupa, semua ini sudah menjadi milik saya, begitu juga dirimu. Dan apabila saya memerlukannya, kamu harus rela menyerahkannya, karena sekarang saya adalah pemiliknya.”
Itulah yang dimaksud dengan konsep menyerahkan segalanya kepada Dia. Konsep yang sangat keras bukan? Mulai hari ini, marilah kita mengikut Tuhan dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati. Karena kita sadar, bahwa semua yang ada dan kita miliki di dunia ini bukanlah milik kita dan hanya sementara.
Sumber gambar: www.pinterest.com/pin/19492210861911031/