Saat Turbulensi Hidup Terjadi
Dalam penerbangan dari Bandara Sepinggan ke Soekarno Hatta baru-baru ini, pilot pesawat mengumumkan bahwa kami akan menghadapi turbulensi selama perjalanan. Memang langit mendung dan hujan rintik-rintik menemani perjalanan saya dari Kantor PLN menuju ke Bandara Sepinggan sore itu. Selepas mengudara, dari jendela, saya melihat petir menyambar di ujung horizon. Kondisi kabin pesawat pun gelap dan bergoyang naik turun. Pilot meminta kami untuk tetap duduk setidaknya sampai pesawat melewati gangguan turbulensi yang ada. Saya yang biasanya tertidur dari awal perjalanan, rupa-rupanya ikutan terpengaruh. Guncangan di kabin pesawat membuat saya sulit tidur, untung saja ada layar video di depan dengan film-film terbaru. Saya pun berusaha mengusir rasa capai dengan menonton film. Pengalaman saya kemarin mengingatkan saya tentang sebuah turbulensi, terutama mengenai turbulensi hidup.
Hal yang sama pernah dialami pula oleh Ayub. Ayub yang hidupnya sungguh-sungguh mengasihi Tuhan itu, yang dalam segala hal mengindahkan kehendak Tuhan, tiba-tiba ditimpa malapetaka yang sangat berat dan mengerikan. Seluruh hartanya dirampok oleh orang, anak-anaknya meninggal, ditinggalkan oleh istri dan teman-temannya, bahkan harus mengidap penyakit barah. Sebuah turbulensi hidup yang benar-benar nyata dan begitu menyakitkan. Dalam kisah selanjutnya, Ayub membuktikan sanggup bertahan dalam kesulitan hidup, dan dia tidak menyerah. Kita sama-sama tahu, di akhir cerita, kehidupan Ayub dikembalikan oleh Tuhan, bahkan dua kali lipat daripada sebelumnya.
Saya juga teringat mengenai tulisan adik saya tentang Tiap keluarga ada salibnya. Saat semua rencana hidup sudah kita siapkan ternyata tiba-tiba ada kejadian yang mengubah semuanya. Ada seorang kakak yang berencana akan mengajak suaminya tinggal di Jepang, harus kembali ke Indonesia dan mengurus ayahnya karena mamanya meninggal dunia. Ada juga seorang teman yang harus kembali ke Indonesia untuk bekerja karena harus membiayai kehidupan keluarganya. Juga ada seorang teman yang ditinggalkan oleh bapaknya saat berkuliah.
Turbulensi hidup mirip dengan turbulensi pesawat. Kita tidak bisa lari daripadanya, kita harus menghadapinya dengan keyakinan dan iman kepada Tuhan. Ayub mampu bertahan dalam pergumulan hidup yang membelit. Demikian halnya, seharusnya orang Kristen, anak-anak Tuhan harus mampu menghadapi guncangan. Mampu bertahan dari setiap kesulitan. Itu pondasi yang kokoh, ibarat bangunan yang mampu bertahan dari guncangan sekalipun.Kita percaya bahwa Tuhan tetap menyertai dan memelihara kehidupan kita.