Allah Hadir di Tengah-Tengah Keluarga (13): Aek Sitio-Tio
Detik, menit, dan jam pun berlalu. Tidak terasa sudah hampir setengah jam saya memandangi rumah ini. Rumah ini mengalami cukup banyak perubahan, sekarang ada lantai dua dengan empat buah kamar dan banyak sekali kasur. Dan di sisi kanan rumah, dibuat saru ruangan baru sebagai pos pemeriksaan kesehatan Desa Bakara yang dijalankan oleh Nantulang Sam. Keadaan rumah juga jauh lebih nyaman/ cozzy, yang mungkin karena warna putih yang dipilih menjadi warna dominan tembok rumah.
Kembali ke kisah awal. Setelah sibuk bersalam-salaman dengan banyak sekali saudara (bagian ini beneran, karena emang banyak banget), saya duduk di sekitaran Tulang, Bapatua, dan Uda yang ada di sana. Jadi, para lelaki (kepala keluarga) ini duduk di kursi tamu yang ada di ruangan itu. Yang lainnya duduk di bawah (di tikar besar yang disiapkan) dan ada juga yang sibuk di dapur. Sambil duduk-duduk, saya ditanya, “Kok Daniel jadinya bisa ikut ke Bakara?” Saya menjawabnya, “Iya Bapatua, jadinya bisa ikut karena ke Bali nya diundur,” “Puji Tuhan deh jadinya kita bisa kumpul bareng-bareng di sini. Bisa sekali sepuluh tahun loh ini,” tangkas saya selanjutnya. Para lelaki ini kemudian tertawa mendengar ucapan saya, mungkin karena inilah kenyataannya. Kesempatan berkumpul satu Ompung ini mungkin akan sangat sulit diadakan lagi—terbukti saat pernikahan Bang Hendra Februari kemarin, bahkan hanya setengahnya yang berkumpul. Apalagi jika mengingat generasi mereka—papa dan mama—juga akan segera digantikan oleh kami-kami ini anaknya.
Jadi, setelah berbincang-bincang ringan soal perjalanan dan perkuliahan saya di Bandung, saya kemudian ikut serta bersama dengan para sepupu saya mandi di Aek Sitio-tio. Kenapa mandi? Ya iyalah, karena itu adalah tempat pemandian… Gratis bro! Jadi, Aek Sitio-tio itu adalah nama dari mual (sumber mata air) yang keluar dari dalam tanah. Terus, oleh penduduk sekitar dibuat menjadi kolam yang di dalamnya orang-orang dapat mandi dan berenang. Ya, saya segera mengemasi pakaian saya dan handuk. Papa juga ikut. Keluarga Bapatua Friska dan Mama belum tiba karena sedang berziarah ke Kuburan Papanya Bapatua.
Di perjalanan, Bang Agus (anak laki-laki pertama Bapatua Friska) menelepon, menanyakan kami di mana. Karena saya yang memegang handphone papa saat itu saya mengatakan, “Kami mau ke Aek Sitio-tio, Bang. Ketemu di sana aja yah.” Perjalanan menuju Aek Sitio-tio tidak terlampau lama, hanya sekitar 15 menit dari rumah Ompung. Tiba di Aek Sitio-tio, saudara-saudara saya langsung menceburkan diri. Wah, airnya dingin dan bersih sekali.. “Pasti bisa diminum langsung nih,” kata saya di dalam hati melihat betapa beningnya air ini. Keinginan saya untuk mandi di sana saya urungkan, karena tidak ada tempat untuk berganti pakaian dan lebih ingin mengabadikan pemandangan sekitar dengan kamera yang dibawa. Suasana sekitar juga jadi riuh rendah, karena saudara-saudara saya berteriak-teriak saking senangnya bisa mengunjungi objek wisata pertama di Bakara ini. Jadilah saya hanya mengamati pemandangan sekitar yang begitu indah. Dari kejauhan terlihat bukit-bukit yang mengelilingi lembah Bakara ini. Daerah tersubur di seantero Danau Toba. Aek Sitio-tio ini juga salah satu sumber air yang mengalir ke Danau Toba looh, dan sampai kini saya tidak habis pikir, betapa luar biasanya Tuhan menganugerahkan sumber mata air gratis kepada penduduk di Bakara ini.
Tidak lama mengamati pemandangan dan merenung sebentar, Keluarga Bapatua dan Mama telah datang. Wah, senangnya dapat bertemu dengan Kak Friska, Bang Agus, Bang Anto, dan Kak Nova yang hampir sepuluh bulan ini tidak saya temui. Kalau Bapatua dan Mamatua serta mama ya gak begitu kangen, wong kemarin lusa masih ketemu, hehe.. Jadilah kami bersalaman dan menanyakan kabar. Lalu dilanjutkan dengan berfoto-foto bersama, sambil menunggu yang lain selesai mandi atau sekedar bermain air.
Hemm, setelah lamaaa menunggu (canda deehhh… *padahal sambil foto-foto) akhirnya semua acara mandi dan bermain air selesai sudah. Kami kemudian berfoto bersama di pinggir Aek Sitio-tio. Jeng-jeng….ternyata jam sudah menunjukkan pukul 18.15. “Buset, cepet banget yah jam berlalu, langit masih cerah padahal,” pikir saya di dalam hati. Saya lupa bahwa letak geografis Bakara atau Sumatera Utara berada di sebelah barat dari Jawa Barat (tempat tinggal saya selama ini). Ini yang membuat matahari terbit dan tenggelam jauh lebih lama dibandingkan biasanya. Jadi, langit masih akan gelap di saat matahari terbit dan masih terang di waktu seharusnya matahari sudha tenggelam, hahaha, saya tertawa sejenak.
Kembali dari Aek Sitio-tio, keadaan di rumah kembali ramai. Kami segera makan malam. Sebelum makan, saya membantu sensus keluarga kami, 54 dari total 67 orang keluarga Ompung Jiorutte. Wah, benar-benar keluarga besar yah. Menu makan malam kali ini adalah ikan teri goreng kering, susu nihorbo, ikan goreng, dan sayur sawi rebus, ditambah lalapan selada. Hemm, enak sekali makan malam kali ini—bukan hanya karena saya lapar—tetapi juga karena saya dapat makan bersama dengan saudara-saudara saya.
Malam sudah datang menyergap. Generasi anak-anak segera naik ke lantai kedua, bermain UNO bersama (nantikan yah kisah permainan UNO ini, hehe). Sedangkan orangtua-orangtua tetap di lantai bawah untuk membicarakan adat yang dilakukan pada esok hari.Suasana malam itu berbeda jauh di lantai atas dan lantai bawah. Di lantai atas dipenuhi dengan canda tawa dan kelucuan-kelucuan, sedang di lantai bawah dipenuhi dengan dialog dan percakapan dalam bahasa Batak yang tidak begitu saya mengerti. Tetapi, ada kesamaan yang saya lihat, yaitu kebersamaan. Kebersamaan dua lantai itu mungkin diwujudkan dalam cara yang berbeda, namun intinya sama. Kebersamaan adalah hal yang harus diwujudkan dan diusahakan, bukan ditunggu dan ditunggu.