Teladan Papa dan Mama (4) : Kesederhanaan
Papa dan mama menikah tanggal 10 Oktober 1987 di HKBP Pondok Bambu. Saya bisa membayangkan suasana hari itu melalui foto-foto yang tersimpan rapi di Album Foto Pernikahan Papa dan Mama, yang baru-baru ini kami coba abadikan dengan cari men-scan-nya kemudian disimpan dalam bentuk digital. Jadi, boleh dibilang, pada tahun ini, tepatnya Oktober nanti, papa dan mama akan merayakan hari jadi pernikahan perak mereka (yang ke-25).
Sungguh suatu kebanggaan pada diri saya sendiri, bisa menyaksikan bagaimana seharusnya kasih di dalam sebuah pernikahan. Papa dan mama tetap setia dalam mengikut Tuhan, dan Tuhan sendiri yang terus memberikan kasih-Nya yang melimpah di dalam kehidupan keluarga kami. Di dalam kehidupan saya, apa yang papa dan mama lakukan selalu memberikan sebuah kenangan yang tidak terlupakan.
Adik saya dan saya lahir tanggal 07 Desember 1991, di mana papa dan mama lebih dari empat tahun menunggu kelahiran kami. Sewaktu itu, kami lahir sebagai anak kembar. Ujar mama, dia tidak mengetahui bahwa akan memiliki anak kembar. Ini dikarenakan dahulu mama tidak boleh terlalu sering di USG(ultrasonografi, sejenis pemeriksaan mengenai keadaan kandungan seorang ibu). Oleh karena itu, papa dan mama hanya menyiapkan satu nama saja, yaitu Daniel. Mereka tidak mempersiapkan nama untuk adik saya. Kemudian, barulah setelah adik saya lahir (dia lahir tiga menit setelah saya dilahirkan), papa dan mama memutuskan untuk memberikan nama yang sama dengan nama dokter yang mengoperasi mama, namanya Nugroho. Pada akhirnya, kami memiliki nama tengah yang sama, yaitu Christian, yang artinya pengikut Kristus.
Ada banyak kenangan masa kecil yang kini masih jelas kami berdua rasakan. Mungkin melalui tulisan ini, saya bisa kembali mengenangnya.
Sejak kecil papa dan mama selalu mengajari kami untuk selalu dekat dengan Tuhan. Kami diajak untuk mengikuti Sekolah Minggu sejak berusia tiga tahun. Mama pernah berujar, sewaktu itu, papa dan mama bergantian memegang tangan kami agar mau bertepuk tangan. Papa dan mama juga membisikkan ajakan ke telinga kami untuk mau bernyanyi. Jadi, ketika saya sekarang memiliki hubungan yang dekat dengan Tuhan, saya bersyukur kalau papa dan mama sudah mengenalkan kami sejak kecil, dan setidaknya itulah yang membuat saya ingin melakukan hal yang sama kepada anak saya kelak.
Kesederhanaan di dalam hidup juga begitu banyak saya pelajari dari papa dan mama. Papa dan mama selalu menekankan kehidupan itu harus mendarat, dekat dengan semua orang tanpa kecuali, dan jangan pernah sombong. Kesederhanaan itu begitu membekas di dalam kehidupan saya, apalagi ketika masalah ekonomi yang sempat datang saat krisis ekonomi, tahun 1998. Sampai sekarang, kesederhanaan yang sama telah membuat saya tetap dapat memiliki banyak teman dan sahabat, meskipun saya termasuk orang yang pendiam. Melalui papa dan mama, saya belajar bahwa kesederhanaan adalah suatu hal yang begitu berharga bagi kualitas sebuah hubungan. Di saat saya memposisikan diri saya menjadi orang yang sederhana, di saat itu juga, saya diterima oleh lingkungan saya.
Selanjutnya, papa dan mama juga mengajarkan kepada saya akan arti sebuah tanggung jawab. Sejak kecil, adik saya dan saya sudah ditinggalkan oleh papa dan mama untuk bekerja. Sepulang sekolah, kami pulang ke rumah sendiri, makan, kemudian tidur siang. Sore hari ketika mama pulang dari kantor kami baru mulai mengerjakan tugas dan belajar. Sewaktu itu papa masih pulang larut malam karena harus bekerja sebagai supir angkot dan supir taksi. Seingat saya, sejak kelas 2 SD, kami sudah belajar sendiri. Mama biasanya yang menemani kami dengan duduk di meja makan, tempat kami berdua belajar bersama selama belasan tahun. Sejak SD, saya dan adik saya sudah terbiasa untuk berjalan kaki pulang sekolah. Lumayanlah saat itu, menghemat 2000 rupiah tiap harinya. Di akhir bulan, kami bisa memberikan uang tersebut untuk membantu mama membayar uang sekolah. Di saat melanjutkan pendidikan ke SMP juga semuanya sudah Tuhan atur dan persiapkan.
Kesempatan saling bertukar cerita dengan teman saya, Erika Mellina beberapa hari tekahir ini, memberikan kesempatan kepada saya untuk melihat kembali masa-masa dahulu. Meskipun ada masalah ekonomi yang menimpa keluarga kami selama belasan tahun, tetapi Tuhan Yesus tidak pernah meninggalkan kami. Bahkan di saat-saat yang paling sulit itu, kami berdua bisa juara lomba-lomba, lulus dengan nilai yang luar biasa dari SD, bisa masuk ke SMP Kanisius yang mungkin tidak pernah terbayangkan, kemudian melanjutkan sekoalh ke SMA Kanisius dan SMA Negeri 8. Sungguh sebuah anugerah yang tidak terkira di dalam kehidupan keluarga kami. Uang yang dirasakan tidak cukup, ternyata Tuhan Yesus cukupkan dengan luar biasa. Hingga saat ini, ketika kami dapat berkuliah, dan keadaan ekonomi keluarga yang jauh lebih baik, saya masih amat bersyukur pernah merasakan semua kejadian bersama dengan keluarga saya. Begitu banyak pengalaman indah dan tidak terlupakan yang saya miliki di dalam kehidupan ini. Saya selalu memiliki gambaran yang jelas bagaimana menghadapi orang-orang dengan berbagai karakter karena pembelajaran selama belasan tahun mengenai kesederhanaan dan tanggung jawab.
Lihat juga :
Teladan Papa dan Mama
Teladan Papa dan Mama (2)
Teladan Papa dan Mama (3)
Teladan Papa dan Mama (4)
2 thoughts on “Teladan Papa dan Mama (4) : Kesederhanaan”