Kebaikan Kak Mie dan Bang Ricky
Setelah gereja, saya sempat berbicara kepada Kak Mie dan Bang Ricky, mengatakan sudah menyelesaikan pindahan hari Jumat kemarin. Kak Mie dan Bang Ricky Sihombing adalah orang gereja yang sudah saya anggap orangtua sendiri. Selain karena sama-sama bermarga Sihombing (Nababan), tempat tinggal mereka juga dekat dengan asrama saya di Higashi Fushimi. Jadi ketika pindahan dulu dari Hashimoto ke Higashi Fushimi, saya sempat kaget dan hampir tidak percaya bisa mendapatkan asrama yang dekat dengan rumah mereka sekaligus rumah Pak Atsumi (gembala gereja GIII Tokyo). Selama 2 tahun tinggal di Higashi Fushimi, Kak Mie sering sekali membantu saya. Kak Mie memberi nasihat dimana supermarket yang murah, toko obat hingga bengkel tambal ban sepeda. Beberapa kali ikut persekutuan doa Jumat di rumahnya, saya pun selalu membawa oleh-oleh makanan daging opor atau rendang, juga sering tumisan sayur dan kue kecil serta agar-agar.
Kak Mie yang Meminjamkan Futon
Di hari itu saya menceritakan pengalaman pindahan rumah kepada mereka. Saya bercerita bisa mendapat teman pindahan rumah bareng, sehingga bisa menghemat biaya pindahan. Barang-barang besar seperti lemari es, microwave, dan sepeda sudah dibawa dan hanya tinggal beberapa potong pakaian, peralatan makan, dan barang-barang kecil lainnya. Saya bercerita bahwa nanti pada Sabtu minggu depan akan membawa semua barang-barang yang tersisa itu bersama Papa, Mama, dan Abang ke rumah yang baru di Chiba.
Kak Mie kemudian bertanya kepada saya di mana keluarga dari Indonesia akan tidur. Saya pun menjawab di kamar saya, sebab pemilik asrama sudah mengijinkan keluarga untuk dapat tinggal selama seminggu di Jepang. Kak Mie rupanya kuatir bagaimana tempat tidurnya, apakah muat atau tidak untuk empat orang. “Biar Papa dan Mama tidur di tempat tidur, saya dan Abang akan tidur di lantai,” begitu jawab saya kepada Kak Mie. Kak Mie, tiba-tiba mengatakan bagaimana kalau pakai futon (sejenis alas tidur di Jepang) dari rumah Kak Mie. Mendengar saran Kak Mie, saya jadi berpikir lebih baik menggunakan futon yang lebih tebal sebagai alas tidur, sehingga tidak perlu tidur di lantai yang keras. Jadilah saya menyetujui saran dari Kak Mie, dan mengatakan akan mengambil futon nanti malam naik sepeda. Tapi Kak Mie menolaknya. Karena ada futon dan selimut yang sangat tebal, jadi rasanya tidak mungkin untuk dibawa naik sepeda. Kak Mie menawarkan untuk nanti membawakan futon tersebut dengan mobil ke asrama saya. Karena takut merepotkan, awalnya saya sempat menolak, namun akhirnya saya menyetujui dan berterimakasih kepada Kak Mie karena bersedia meminjamkan serta mengantarkan futon hingga ke asrama.
Setelah itu saya langsung pulang ke rumah untuk kembali membereskan barang-barang yang masih tersisa. Tiba di rumah sekitar pukul 16.00, saya langsung pergi menitipkan jas untuk acara wisuda ke laundry. Perjalanan cukup jauh ditempuh dengan berjalan kaki, karena sepeda sudah dibawa ke rumah yang baru di Chiba. Setelah kurang lebih 30 menit berjalan, saya berikan jas untuk dilaundry dan dengan biaya 676 yen, jas sudah siap diambil besok hari Senin. Saya pun segera pulang dan mampir sebentar di toko sayur dekat rumah untuk membeli bahan makan malam di Minggu sore itu.
Sekitar pukul 20.00, Kak Mie mengirimkan pesan ke handphone bahwa dia bersama Bang Ricky sudah pergi menuju ke asrama saya yang hanya berbeda 4 blok jauhnya. Saya pun langsung mengenakan jaket dan turun ke lantai satu, menunggu di dekat pintu gerbang asrama. Angin malam dingin bertiup cukup kencang waktu itu sehingga saya menunggu dari balik pintu. Sekitar 4 menit kemudian mobil Bang Ricky tiba, dan saya pun mengambil futon beserta selimut dari kursi belakang. Saya ambil satu dari dua futon dan satu selimut tebal yang ada dan membawanya masuk ke asrama. Setelah naik lewat lift dan membuka pintu kamar, saya letakkan futon dan selimut di dalam kamar. Namun, karena ukurannya yang besar, tempat tidur saya langsung penuh. Segera saya turun dan mengatakan tidak perlu satu futon lagi karena kamarnya sudah penuh. Saya pun berterimakasih kepada Kak Mie dan Bang Ricky yang rela meminjamkan sekaligus mengantarkan futon dan selimut sampai ke asrama. Ketika berkata nanti biar saya yang mengembalikannya, mereka menolak dan berkata Bang Ricky akan mengambil kembali futon dan selimutnya di Minggu pagi sebelum pergi ke Gereja.
Sempat pula ada omongan bagaimana kalau Papa, Mama, dan Abang pergi bersama mereka naik mobil ke gereja. Mereka tahu kalau saya memang ada urusan yang tak bisa ditinggalkan bersama dengan Sensei, sehingga rasanya sulit mengantar Papa, Mama, dan Abang pergi ke gereja GIII Tokyo. Saya sampaikan bahwa lebih baik bertanya dulu ke Papa dan Mama, dan baru nanti akan disampaikan kepada Bang Ricky dan Kak Mie mengenai rencana berikutnya.
Sekembalinya ke kamar, saya melipat futon dan selimut tebal itu dan memasukkannya ke lemari besar yang sudah kosong di kamar. Lemari langsung jadi penuh karena besarnya futon dan selimut itu. Saya jadi berpikir untung saja cuma meminjam satu, kalau pinjam dua tidak ada tempat lagi. Di malam itu, saya berdoa dan tidur malam cepat supaya besok pagi bisa pergi ke Bandara Haneda untuk menjemput Papa, Mama, dan Abang. Dalam doa malam, saya betul-betul merasakan kebaikan Tuhan lewat orang-orang di sekitar saya. Bahkan hingga alas tidur sekalipun, Tuhan memberikan jalan keluar terbaik.
Sumber gambar: minimalstudent.com, facebook