Kesaksian di Ibadah Minggu GIII Tokyo
Hari Minggu 15 Maret 2015 jadi minggu terakhir saya beribadah di GIII Tokyo. Memang bukan yang terakhir untuk selamanya, namun terakhir dalam saya menempuh jenjang pendidikan S1 di Jepang. Hampir empat setengah tahun saya tinggal dan berkuliah di Jepang, dan Tuhan tetap menuntun saya untuk dapat bergereja di GIII Tokyo. Mulai dari saat tinggal di Hashimoto (Prefektur Kanagawa), lalu di Higashi Fushimi (Prefektur Tokyo). Biarpun ada kalanya cuaca buruk, perjalanan yang jauh, kereta yang sering terlambat, perjalanan seorang diri, namun saya betul-betul dapat merasakan penyertaan Tuhan begitu nyata. Jadilah hari Minggu itu saya berpesan kepada Pak Yanes yang menjadi liturgos bahwa saya ingin menyampaikan kesaksian.
Kesaksian Saat Pergi ke GIII Tokyo Pertama Kali
Saya mulai kesaksian dengan bercerita tentang pengalaman pertama saat datang ke GIII Tokyo tanggal 3 Oktober 2010. Satu hari sebelum hari Minggu, saya diajak oleh para senpai (kakak kelas) untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Waktu itu kami pergi ke Royal Home Center yang letaknya tidak terlalu jauh dari asrama di Hashimoto. Pagi hari jam 11-an, saya dan Gita, bersama dengan 4 orang kakak kelas yang lain pergi berjalan kaki menuju Home Center.
Di sana kami pertama membeli sepeda. Para Senpai berkata, sepeda sangat membantu ketika ingin berbelanja atau bepergian. Dengan sepeda, kita dapat dengan mudah pergi ke supermarket atau stasiun yang jaraknya cukup jauh dengan asrama tempat tinggal. Saya pun membeli sepeda seharga 17 ribu yen atau sekitar 1,7 juta rupiah dan menyelesaikan pendaftaran nomor sepeda. Bang Togi membantu saya dalam mengisi informasi dan data-data yang diperlukan. Sepulang dari membeli sepeda, kami juga mampir untuk membeli barang kebutuhan pokok, seperti sabun, sampo, piring, gelas, dan barang kecil lainnya. Waktu itu saya tidak membeli lebih banyak lagi karena uang hanya tersisa 2000 yen saja dari 25000 yen yang dibawa dari Indonesia. Pikir saya, biar 2000 yen ini dipakai untuk pergi ke gereja besok harinya. Kami pun kemudian makan siang sekitar pukul 3 sore di Spice Mahal, restoran India yang menyediakan menu Kare dan menikmati makanan pedas pertama di Jepang.
Kemudian di hari Minggu tanggal 3 Oktober itu, saya bersama Bang Jeff dan Bang Togi pergi bersama ke Gereja GIII Tokyo. Waktu itu kami bersama-sama naik sepeda ke stasiun dan memarkirkan sepeda di tempat parkir Minami Hashimoto. Saya ingat betul itu pengalaman saya memarkir sepeda, dan Bang Jeff mengajarkan dengan tekun bagaimana cara memarkir dan mengunci sepeda dengan benar. Kemudian kami naik kereta Keio Line dari Hashimoto ke Shinjuku, pindah kereta di Shinjuku dan naik Chuo Rapid Line menuju ke stasiun Ochanomizu. Dari Ochanomizu, kami berjalan kaki menyusuri jalan dengan banyak toko musik menuju ke Gereja GIII Tokyo. Puji Tuhan, ada Bang Jeff dan Bang Togi yang menemani sewaktu itu hingga saya bisa pergi tanpa tersesat ke Gereja.
Tapi, semua berubah di hari minggu ketiga. Waktu itu saya menunggu Bang Jeff dan Bang Togi seperti biasa di parkiran sepeda. Namun, karena lama menunggu tidak datang-datang juga, saya pun menelepon Bang Jeff. Dengan nada pelan-pelan karena sedang ada di kereta, Bang Jeff mengatakan mereka sudah pergi duluan ke Gereja GIII Tokyo karena akan latihan pelayanan di Ibadah Minggu. Jadilah saya harus pergi sendiri ke Gereja. Sempat ada perasaan takut karena belum mengerti cara pergi ke gereja, namun seperti pesan Bang Jeff untuk menggunakan GPS handphone, saya pun dengan semangat mengayuhkan pedal sepeda di minggu pagi yang terik itu.
Sepanjang perjalanan, saya tidak pernah lupa mengecek di mana posisi saya lewat handphone. Di beberapa tempat seperti Shinjuku dan Ochanomizu pun, saya berhenti sejenak dan menggunakan fasilitas kompas untuk memastikan saya berjalan ke arah yang benar, dan tidak menjauh dari posisi semula. Dan Puji Tuhan, saya bisa datang tepat waktu di Gereja GIII Tokyo waktu itu. Semua berkat penyertaan Tuhan dan berkat kecanggihan teknologi juga tentunya.
Sejenak Berhenti di Perjalanan
Sama seperti kisah saya sewaktu pergi ke Gereja GIII Tokyo, ada kisah di Alkitab mengenai Samuel yang juga menempuh perjalanan. Sebelas dua belas lah dengan perjalanan yang saya alami waktu pertama kali pergi ke GIII Tokyo. Namun, yang ditempuhnya bukan perjalanan biasa seperti rekreasi atau santai, melainkan perjalanan untuk mempertahankan kedaulatan umat Israel dari kuasa bangsa Filistin. Samuel menjadi pemimpin perjalanan bagi bangsa Israel. Di suatu tempat, Samuel dan rombongannya berhenti sejenak. Agaknya di situ Samuel pun membuat evaluasi dan menentukan orientasi perjalanannya serta mengkonsolidasi rombongannya. Lalu apa perasaan Samuel ketika ia melakukan hal itu? Menurut catatan Alkitab, “…Samuel mengambil sebuah batu dan mendirikannya…, ia menamai Eben Haezer, katanya: Sampai di sini Tuhan menolong kita” (1 Samuel 7:12). Eben Haezer secara harafiah berarti “batu pertolongan”. Eben Haezer adalah sebuah titik perhentian di mana Samuel dan rombongannya mengaku bahwa Tuhan menolong perjalanan mereka. Dengan rasa terima kasih Samuel menyimpulkan evaluasi perjalanan, “Sampai di sini Tuhan menolong kita.”
Begitu juga dengan saya. Perjalanan menuju ke Gereja GIII Tokyo hanyalah sebagian kecil perjalanan hidup saya di Jepang ini. Empat tahun setengah lebih saya tinggal di Jepang, di akhir masa pendidikan S1 ini adalah saat yang tepat bagi saya untuk berhenti sejenak. Berhenti dari kesibukan yang terus membayang. Berhenti sejenak untuk merenungkan kebaikan Tuhan sepanjang perjalanan hidup ini. Berhenti sejenak untuk mengevaluasi kembali, apakah saya tetap ada di jalan yang tepat atau sudah tersasar jauh. Berhenti sejenak untuk mengevaluasi dan mengkonsolidasi diri untuk ke depannya.
Di akhir kesaksian saya di GIII Tokyo, saya menyampaikan bahwa Minggu depan saya tidak bisa datang ke Gereja. Itu karena saya mesti pergi mengikuti jadwal yang sudah dibuat oleh Sensei, untuk meninggalkan asrama di minggu siang dan langsung menuju ke Hotel. Lalu akan pulang ke Indonesia di hari Senin tanggal 23 Maret, dan akan kembali dalam seminggu ke depan. Orang-orang yang mendengar kesaksian saya sempat terharu dan sedih karena tahu saya akan kembali ke Indonesia, namun akhirnya mereka terhibur karena saya berkata akan kembali lagi pada minggu depannya.
Sumber gambar: amazonaws