Ketika Seorang Guru Menangis
Hari ini jam sekitar jam 3 sore, saat saya dan teman-teman sedang belajar bahasa Jepang, tiba-tiba pintu diketuk. Saya bilang kepada Mihara Sensei, bahwa ada seseorang di luar. Sensei langsung saja menuju pintu dan mengeceknya. Rupanya orang tersebut adalah Sashika Senpai, seorang kakak kelas yang berasal dari Sri Langka. Sensei dan Sashika Senpai berbicara agak lama di luar kelas. Setelah beberapa waktu, Sensei kemudian masuk dan kembali mau mengajar.
Tapi, ada satu hal yang memberatkan hati saya. Ketika saya melihat Sensei, tampak mata Sensei berkaca-kaca karena air mata. Saya awalnya tidak mengerti, mengapa Sensei sampai menangis. Padahal sebelumnya, semua nampak berjalan baik-baik saja, tidak ada masalah. Tapi, apa mungkin Sensei menangis karena percakapan dengan Sashika Senpai? Saya memberanikan diri bertanya mengenai hal tersebut kepada Sensei. Sensei kemudian memulai ceritanya. Cerita yang membuat saya saat itu tidak berani untuk menatap kembali wajah Sensei. Cerita yang membuat saya hanya bisa menunduk dan mendengarkannya.
Sensei bercerita, bahwa Sashika sudah hampir satu setengah tahun di Jepang, dan tidak kembali ke negaranya, Sri Lanka. Sashika memberitahukan hal itu dan kemudian meminta ijin kepada Sensei. Sensei kemudian mengatakan ya, dan berhati-hati di dalam perjalanan. Sensei sangat senang karena saat berbicara tadi Sashika sudah sangat mahir berbicara dalam bahasa Jepang. Sensei bangga karena Sashika sudah bisa bicara bahasa Jepang.
Sensei kemudian melanjutkan ceritanya. Tadi, Sashika juga menyampaikan mengenai hasil ujian akhir semesternya kepada Sensei. Sashika berkata bahwa pada tahun pertama, dia mendapat nilai yang sangat memuaskan. Dia menceritakan, meskipun sangat sulit karena semua pelajarannya banyak menggunakann kanji yang sulit, namun dia bisa mengerti dan akhirnya bisa mengerjakan semua soal ujian. Dia mendapat nilai baik, dan keudian mengucapkan terimakasih kepada Sensei. “Sensei, saya sangat berterimakasih karena Sensei sudah dengan sangat baik mengajar saya. Dari awalnya, saya tidak tahu dan mengerti apa-apa, hingga saat sekarang ini. Saya sudah bisa sedikit mengerti mengenai bahasa Jepang. Sensei, untuk tahun-tahun ke depan, tolong ya!” Begitulah perkataan yang diucapkan oleh Sashika kepada Sensei.
“Saya sangat bergembira mendapati murid-murid yang dulu sudah belajar, kemudian menjadi mengerti dan kemudian paham. Semua usaha dan kerja keras yang saya lakukan, terbayar tuntas oleh perkataan Sashika tadi. Saya sangat gembira mendengar bahwa ia mendapat nilai yang baik” Sensei melanjutkan ceritanya.
Saya yang tadinya hanya menunduk, kemudian berani menengadahkan kepala dan melihat wajah sensei. Meskipun sudah tua, wajah tersebut masih memancarkan semangat dan keinginan untuk terus mengajar siswa. Keinginan untuk memberi semua ilmu kepada murid-muridnya. Keinginan yang tidak pernah padam agar semua muridnya dapat berhasil. Keinginan yang sangat mulia bagi saya.
Setiap guru selalu berusaha memperlakukan semua muridnya dengan adil dan baik. Karena apa? Karena mereka sadar, bahwa suatu saat, siswa yang pernah mereka ajar, mungkin akan menjadi orang yang hebat, besar, bahkan lebih hebat daripada dirinya. Tapi, mereka tidak memperdulikannya. Yang penting, semua siswa saya mengerti dan bisa menggunakan pengetahuannya untuk menjadi berhasil. Semoga anak didik saya bisa lebih hebat daripada saya. Ya, saya sadar, itulah sebenarnya keinginan seorang guru.
Saat melihat Sensei menangis, saya tidak melihat adanya raut kesedihan. Melainkan wajah gembira, bersemangat, dan bangga melihat siswanya menjadi berhasil. Saya ingin membuat Sensei bangga. Suatu hari, saya ingin bertemu dengan Sensei, dan mengucapkan terimakasih atas segala usahanya membuat saya hingga sekarang ini. Ya, saya ingin membuat Sensei sekali lagi menangis. Menangis karena kebanggaan dan kegembiraan.