Malam Hari di Tokyo
Angin malam bertiup kencang menerpa wajah saya. Malam hari di Tokyo hari itu begitu dingin. Semilir angin dingin pun menyerang telinga saya, menciptakan rasa sakit bagai ditusuk-tusuk oleh ribuan jarum. Sarung tangan yang saya pakai pun seakan tak kuat menahan dinginnya angin malam. Suhu udara malam itu minus 3 derajat. Saya dapat rasakan muka saya amat kering dan kaku.
Malam itu saya baru pulang sekitar pukul 10 malam. Cukup menyesak memang apalagi mengingat suhu udara yang amat rendah. Bukannya karena apa-apa, saya mesti memastikan oleh-oleh dan barang-barang titipan seluruhnya terbeli.
Siang itu selesai ibadah di gereja, saya harus merapikan barang-barang proyektor gereja. Saya juga harus mencetak traktat PI (Pemberitaan Injil) Gereja yang akan dibagikan untuk minggu depan. Ada juga latihan penerjemah yang cukup memakan waktu. Untungnya semuanya dapat selesai pada pukul 3 sore.
Tiga jam sudah saya terlambat makan siang. Rasa lapar itu “sudah habis”. Tapi karena masih banyak yang harus dikerjakan, saya pun memaksa diri untuk makan siang. Saya pilih Yayoi-Ken, di sekitar Stasiun Suidobashi untuk tempat makan siang saya hari itu. Selain karena harganya yang relatif murah, di sana saya juga bebas menambah nasi. Saya harus makan nasi yang banyak, pikir saya di hari Minggu yang mendung itu.
Jam setengah empat saya pun keluar dari Yayoi-Ken dan berjalan ke Stasiun Jimbocho. Saya kemudian naik Mita-Line untuk pergi ke Tokyo Tower. Saya turun di statiun terdekat, Onarimon dan berjalan ke Tokyo Tower. Awan gelap mulai menyelimuti langit saat saya tiba di Tokyo Tower. Di sana saya naik ke lantai dua ke tempat membeli oleh-oleh khas Jepang. Satu jam lebih saya berkeliling mencari barang yang tepat untuk dijadikan oleh-oleh. Saya juga menyempatkan untuk membeli kue pie untuk mama dan papa di rumah.
Dengan tas belanjaan kecil di tangan saya, saya keluar dari Tokyo Tower. Hari sudah gelap karena sudah jam 5 lebih. Saya naikkan kerah jaket untuk menutupi leher, melindungi diri dari angin malam utara yang mulai bertiup kencang. Malam hari di Tokyo kali itu begitu dingin.
Saya berjalan cepat ke arah Stasiun Akabanebashi. Saat menunggu lampu merah, saya berpaling dan melihat Tokyo Tower yang telah disinari night lamp nya. Perpaduan warna merah dan jingga yang pas membuat Tokyo Tower merah menyala di tengah kegelapan malam. Saya pun sempat merangkumnya dalam sebuah foto.
Tangga panjang saya turuni hingga ke pintu masuk Stasiun. Itu karena Stasiun Akabanebashi dilewati oleh Toei Line yang biasanya ada di kedalaman 300-400 meter di bawah permukaan tanah. Mengapa begitu dalam, mungkin untuk menghindari struktur bangunan dan gedung-gedung tinggi yang ada di Tokyo. Saat kereta datang saya segera masuk ke dalam dan beruntung saya mendapatkan tempat duduk. Senang sekali rasanya bisa duduk sejenak, karena hampir 2 jam saya terus berdiri dan berjalan. Saya melihat jam di handphone, waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore hari.
Saya kemudian turun di Stasiun Shinjuku dan melangkah keluar dari stasiun. Berbeda sekali dengan keadaan kereta dan dalam stasiun yang hangat, angin malam langsung menyerang saat keluar dari stasiun. Hujan pun mulai turun rintik-rintik. Saya memasukkan tas belanjaan saya ke dalam tas, sehingga tidak ada apa-apa yang saya pegang. Dengan begitu saya bisa memasukkan tangan ke dalam kantung jaket, melindungi diri dari dinginnya angin dan air hujan.
Jam setengah tujuh saya sampai di Yodobashi Kamera, tempat alat-alat elektronik terbesar di Jepang setengah berjalan kaki sekitar 15 menit. Di sana saya langsung melihat-lihat barang-barang yang diperlukan. Saya melihat promo beberapa provider internet tanpa kabel (wifi) yang hendak saya gunakan bulan depan. Selain itu saya juga melihat Google Nexus yang dipesan oleh seorang teman di Indonesia. Perlu waktu yang cukup lama untuk berpikir dan akhirnya membeli barang tersebut. Tapi Puji Tuhan, saya mendapatkan semua yang saya perlukan hari itu. Saya memasukkan Nexus dan Casenya ke dalam tas belanjaan dan segera keluar dari Yodobashi Kamera, lalu turun ke dalam jalan bawah tanah dan menuju ke Stasiun Shinjuku. Saat itu waktu sudah pukul sembilan malam. Wah lama juga ya, pikir saya dalam hati.
Saya kemudian membeli tiket dan naik kereta Keio Line menuju ke stasiun dekat rumah. Perjalanan relatif cepat sekitar 45 menit, karena saya memilih kereta ekspress yang hanya berhenti di stasiun tertentu saja. Sampai di Stasiun Hashimoto saya pergi ke ATM untuk menarik uang dan kemudian ke supermarket untuk membeli susu ukuran kecil untuk persiapan esok hari.
Selesai semuanya saya pergi ke tempat parkiran dan mengeluarkan sepeda. Saya letakkan tas dan barang belanjaan di keranjang depan, dan memakai syal, sarung tangan, dan penutup kepala serta kuping, guna melindungi diri dari dinginnya malam.
Malam hari di Tokyo itu adalah malam hari Minggu tanggal 18 Februari 2013, malam terakhir saya di Jepang. Malam terakhir sebelum saya pergi berlibur ke Indonesia esok harinya. Malam terakhir sebelum saya meninggalkan Jepang untuk pergi selama kurang lebih satu bulan.
Malam yang sangat dingin dan menyengat untuk ukuran malam terakhir, pikir saya dalam hati. Sebuah catatan singkat malam hari di Tokyo – Tamat.
sumber gambar : Blogspot