First Journey to Japan–Part 1
Tanggal 30 September 2010 adalah hari pertama saya tiba di Jepang, tepatnya di bandara Narita. Sebelumnya perjalanan panjang selama 9 jam dalam pesawat telah saya tempuh. melewati malam yang dingin di dalam pesawat. Rasanya lega sekali, bisa keluar dari sang burung besi itu, karena sepanjang malam saya tidak bisa memejamkan mata. Saya sendiri agak gaptek, karena inilah pengalaman pertama saya naik pesawat. Jadi dalam pesawat saya tidak mengerti apa-apa, saya hanya bisa duduk manis dan berharap pesawatnya dapat sampai di Jepang dengan selamat. Inilah kisah saya dalam perjalanan ke Jepang: Journey to Japan.
Suasana pesawat dengan keberangkatan malam sangat sepi. Orang-orang hanya melakukan dua hal: komunikasi dengan temannya sambil menonton film atau tidur pulas di tempat duduknya. Saya sendiri tidak melakukan keduanya, karena saya sama sekali buta akan aksara Jepang. Semua peralatan canggih di depan mata saya tidak dapat saya operasikan. Sayang ya! Tapi tidak apa-apa, saya bertekad dalam hati sampai di Jepang, saya akan berusaha belajar Bahasa Jepang dengan keras.
Saat melangkah keluar dari pesawat dan telah menyelesaikan semua pendaftaran bagi orang asing, barulah saya bisa melihat Narita International Airport dengan leluasa. Sebelumnya karena banyak sekali orang, sulit sekali melihat struktur dan rancangan konstruksi Narita yang sangat bagus. Untunglah sebagian tulisan yang tergantung, memiliki terjemahan bahasa inggris di bawahnya. Kalimat pertama yang menarik perhatian saya adalah OKAERINASAI! SELAMAT DATANG! Perasaan bangga memenuhi semua rongga dalam hati saya. Saya sungguh bersyukur diberikan Tuhan kesempatan untuk belajar di Jepang selama 4 tahun.
Saya dan satu siswa asal Indonesia, Gita menuruni eskalator di Jepang. Eh! Saya sangat terkejut. Saat menaiki eskalator, orang Jepang pun berjalan menaikinya. Semua orang ingin dapat cepat sampai ke tujuan, jadi sebisa mungkin mereka berlari, kalau tidak bisa, mereka berjalan cepat. Bila anda ketahui, kecepatan berjalannya orang Jepang itu sama dengan kecepatan orang Indonesia dalam berlari. Jadi bisa dibayangkan di Narita, semua orang melakukan hal itu. Yang nampak adalah segerombolan manusia dengan barang-barang yang luar biasa banyaknya namun berlari seakan ada sesuatu yang mengejarnya.
Dari atas eskalator, seorang sensei sudah menggerakkan tangannya, seakan memanggil kami. Seorang di sebelahnya lagi memegang papan nama bertuliskan POLYTECHNIC UNIVERSITY JEPANG, ya itulah universitas tujuan saya. “Indonesia kara kimashita?” “Anda dari Indonesiakah?” Akhirnya dengan bahasa Jepang yang sangat terbatas, sensei itu mengerti juga. Kami diantar ke suatu ruangan lobby yang sangat besar. Di sanalah saya bertemu dengan siswa lain yang mendapatkan beasiswa yang sama. Indonesia adalah negara terakhir yang sampai. Terang saja, dilihat dari posisi geografisnya, Indonesia adalah negara yang paling jauh. Saya mencoba cek di internet, jarak dari Soekarno Hatta ke Narita sekitar 5800 kilometer. Ya ampun jauh sekali. Di saat pertama itulah saya melihat kesukaan besar yang terpancar dari teman-teman saya itu, semua memiliki harapan yang sangat besar dalam memulai kehidupan baru di Jepang.
Saya pun juga berpikir seperi itu. Tuhan Yesus, tolonglah saya dalam menghadapi hari-hari di depan saya, itulah doa singkat saya di dalam hati. Dan Tuhan Yesus mengabulkannya, hingga kini saya sudah 1,5 bulan di Jepang, sudah bisa beradaptasi dengan suasana dan tentunya kehidupan budaya yang baru. Saya semakin percaya, bahwa Tuhan Yesus tidak akan sedetikpun meninggalkan saya. Anda bagaimana? Percayakah?