Pergi ke Asakusa Tokyo
Perjalanan berlangsung sekitar 20 menit. Suasana kereta sudah agak penuh karena banyak pekerja yang keluar hendak makan siang. Sementara Papa, Mama, dan Abang duduk di bangku, saya tetap berdiri sambil mengecek jadwal dan perjalanan kereta berikutnya. Saya teringat dengan perjalanan dengan kereta yang sama sekitar setahun yang lalu bersama dengan teman-temannya Tante Nanda. Kami menyusuri jalan yang sama dari Omotesando menuju ke Asakusa dengan kereta yang sama.
Perjalanan ke Kaminarimon di Asakusa
Tiba di stasiun Asakusa, saya mengajak Papa, Mama, dan Abang untuk berfoto bersama di objek terkenal di stasiun Asakusa. Objek tersebut berupa lukisan pada dinding yang mendeskripsikan kota Asakusa dengan Kaminarimon yang terkenal dan Kuil Sensoji yang bersejarah. Setelah mengambil foto bersama kami naik tangga ke atas dan tiba di jalan. Suasana siang itu begitu ramai dengan orang-orang. Selain para pekerja yang sedang makan siang, banyak pula wisatawan yang berjalan-jalan di objek wisata nomor satu Tokyo ini.
Kami berjalan menyusuri trotoar dengan atap pelindung panas, terus menyusuri jalan hingga ke gerbang Kaminarimon yang terkenal. Saya juga sempat menjelaskan ada jinrikisha, semacam becak khas Jepang. Penumpang naik ke atas gerobak, lalu sang supir akan menarik gerobak itu berkeliling tempat wisata sambil memberikan penjelasan. Tanpa diketahui Papa, Mama, dan Abang saya juga mencari mana restoran yang pas untuk dijadikan tempat makan siang kami. Itu sebab saya telah berkata bahwa kita akan makan siang setelah kembali dari Kaminarimon. Pikir saya waktu itu, kalau sudah lewat jam istirahat siang (12 hingga 1 siang), maka restoran pun akan jadi sepi. Jadilah kami terlebih dahulu mengunjungi Kaminarimon.
Kami sempat mengambil foto bersama dengan latar belakang gerbang Kaminarimon di antara orang-orang yang lalu lalang di sana. Perjalanan dilanjutkan ke toko-toko suvenir di sepanjang Nakamise. Kami berjalan dari satu sisi ke sisi yang lainnya, melihat-lihat oleh-oleh yang pas dibeli. Mama beberapa kali menemukan tas-tas kecil, namun mengurungkan niat karena harganya relatif mahal dibandingkan yang ada di Daiso. Kami masuk ke satu toko ke toko yang lainnya, melihat-lihat aneka kerajinan tangan khas Jepang.
Waktu sudah menunjukkan pukul 13.00 saat kami tiba di gerbang torii Kuil Sensoji yang bersejarah. Setelah mengambil foto di sana, kami beristirahat sejenak di tempat duduk di bawah pohon-pohon sakura yang ada di bagian kanan jalan. Sementara Papa, Mama, dan Abang duduk beristirahat, saya ikut antrian mengambil teh dingin yang dibagikan gratis di sebuah toko. Saya memberikannya kepada Mama dan Abang, sementara Papa lebih menyukai teh hangat. Mama pun ikut mengantri dan mengambil segelas teh lagi untuk Papa.
Setelah beristirahat sejenak, kami kembali ke arah stasiun lewat jalan yang sama. Namun saya menyuruh untuk melihat toko-toko di seberang jalan. Saya juga membeli kue pie bakar khas jepang berisi kacang merah seharga 130 yen sebanyak 4 biji untuk dimakan bersama. Perjalanan pulang lebih cepat dibandingkan waktu datang, dan kami sempat membeli beberapa buah gantungan kunci lucu untuk saudara-saudara.
Makan Siang di Asakusa
Saat tadi datang dari arah stasiun Asakusa, saya telah memutuskan untuk makan di restoran Cina Hidakaya. Saya pikir karena bentuknya chain, maka harganya tentu tidak terlalu mahal. Jadilah kami belok kiri dan masuk ke restoran Hidakaya yang letaknya di dekat stasiun Asakusa. Setelah memesan kursi untuk 4 orang kepada pelayan restoran, kami pun menunggu kursi kosong di depan restoran. Sambil menunggu saya menyuruh Papa, Mama, dan Abang untuk melihat menu makanan buatan yang ada di depan dan menjelaskan makna tulisan kanji Jepangnya. Hanya sekitar 1 menit kemudian, kursi kosong telah tersedia dan kami dapat segera masuk ke dalam restoran. Kami duduk berjajar satu meja di dekat pintu masuk restoran.
Saya memesan nasi goreng ukuran kecil, Abang ramen dengan daging, Papa ramen dengan hati dan sayur nira, sedangkan Mama ramen dengan tumisan sayur-mayur. Kami sempat mengambil foto bersama saat makan siang di sana sebelum pesanan datang. Untunglah ada sendok kuah untuk ramen sehingga bisa digunakan makan mie ramen meskipun tidak menggunakan sumpit. Kami sempat bertukar, mencicipi makanan satu sama lainnya. Sebentar beristirahat di restoran yang sejuk, saya segera membayar makanan, dan menyusul Papa, Mama, dan Abang yang telah menunggu di luar.
Sumber gambar: Facebook 1, 2, 3, 4, 5, 6