Refleksi Kerja Praktek di Saga Bagian 1
Saya ingin menceritakan tentang apa yang saya dapatkan dalam kerja praktek di Saga. Cerita yang sama juga saya telah saksikan di depan para jemaat Gereja Interdenominasi Injili Indonesia Tokyo pada 11 Agustus 2013. Dan pada kesempatan kali ini saya menuangkannya dalam tulisan. Selain menjadi kenangan bagi saya sendiri, semoga tulisan ini menjadi berkat juga bagi teman-teman sekalian. Selamat membaca.*** (Refleksi Kerja Praktek di Saga bagian 1)
Hampir tiga tahun, dari Oktober 2010, sadar tidak sadar pola pikir saya telah berubah. Apa yang berubah? Kalau dulu sebelum pergi ke Jepang, setiap sebelum pergi ke suatu tempat saya selalu berdoa. “Tuhan saya mau pergi ke tempat ini, pimpin dan tuntun saya. Karena di Indonesia, kita tidak bisa memprediksi apa yang ada di jalan. Tetapi berbeda dengan Jepang. Di Jepang, segalanya bisa diprediksi. Mau naik kereta api, sampai jam berapa, lalu naik bus nomor berapa, busnya sampai jam berapa, kita bisa cari dan dapatkan seluruh informasinya di internet. Semuanya bisa diprediksi, jadi kalau saya pergi, meskipun tetap berdoa kepada Tuhan, namun kadar berdoa, kadar penyerahan diri saya berkurang. Itulah yang saya rasakan. Kalau pergi ke suatu tempat, gereja, kampus, dan lainnya, semuanya jadi seperti atari mae (udah biasa, tidak perlu dipikirkan lagi).
Dengan kepergian saya ke Saga untuk kerja praktek selama satu bulan, semua yang ada dalam pikiran saya berubah. Satu hari sebelum keberangkatan ke Saga, pikiran saya masih nyaman. Dari Tokyo naik pesawat disambung naik kereta nanti sampai juga di tujuan. Saya menganggap semuanya gampang, padahal mama dan papa memikirkan banyak hal mengenai keberangkatan saya. Dan memang Puji Tuhan saya bisa sampai ke tujuan dengan selamat dan baik.
Hingga pada hari pertama datang ke sekolah, saya harus memperkenalkan diri di depan semua siswa. Barulah saya melihat siswa-siswa yang harus saya ajar. Ada 20 orang siswa dan 4 orang guru pembimbing yang dengannya saya akan bekerja sama. Baru saat itulah rasa deg-deg-an itu muncul. Rasa takut dan kuatir itu muncul seketika. Apakah saya bisa mengajar siswa dengan Bahasa Jepang? Apakah saya bisa bertahan selama satu bulan? Apakah saya bisa berhubungan baik dengan sensei dan para siswa? Selesai hari pertama, saat pulang kembali ke hotel dan beristirahat malam pun, saya masih memikirkan pertanyaan-pertanyaan di atas. Hingga kalau pagi hari saya malas untuk pergi. Bukan karena badan lelah, namun karena cemas dan kuatir.
Di saat itulah saya sadar. Di saat inilah saya harus berdoa. Di saat inilah saya memerlukan kekuatan dari Tuhan. Saya sungguh-sungguh berdoa kepada Tuhan. Saat berdoa itulah, Tuhan memberikan hikmatnya kepada saya. Tuhan menunjukkan cara-cara, urutan-urutan mengajar, agar proses mengajarnya menjadi lancar. Hingga pada hari terakhir pun, saya betul-betul merasakan tuntunan dan penyertaan Tuhan kepada saya dalam kerja praktek ini.