Aku Mau Berbahagia!
Untuk apa orang belajar dan bekerja keras? Untuk memperoleh kesuksesan. Lantas kalau sudah beroleh kesuksesan? Beli rumah, beli mobil, menikah, punya anak. Untuk apa semuanya itu? Supaya berbahagia. Lantas, kapan kita disebut berbahagia? Untuk sebagian besar orang, ukuran kebahagiaan adalah mempunyai. Orang yang mempunyai pacar, rumah, mobil, uang, jabatan, dan sebagainya adalah orang yang berbahagia. Pokoknya, dengan punya ini dan itu, senang lah hidupnya.
Anggapan itu ternyata patut ditelisik ulang. Apakah setelah memiliki pacar, orang otomatis jadi lebih berbahagia ketimbang sebelum berpacaran? Atau apakah setelah memiliki rumah dan mobil sendiri, orang pasti lebih berbahagia? Hanya satu yang pasti, semua orang di dunia ini selalu berupaya untuk bahagia. Segala cara dan upaya dia lakukan untuk mencari dan memperoleh kebahagiaan. Hanya orang gila dan lupa ingatan saja yang tidak ingin berbahagia. Benar bukan?
Perasaan Aku Mau Berbahagia!
Mari kita lihat apa yang Tuhan Yesus katakan mengenai kebahagiaan. Di dalam Khotbah di Bukit, Tuhan Yesus menyebutkan ciri atau ukuran kebahagiaan, yaitu: “orang yang miskin di hadapan Allah” (Mat.5:3), “orang yang berdukacita” (ay. 4), “orang yang lemah lembut” (ay. 5), “orang yang lapar dan haus akan kebenaran” (ay. 6), “orang yang murah hatinya” (ay. 7), “orang yang suci hatinya” (ay. 8), dan “orang yang membawa damai” (ay. 9). Wah, dari sini dapat terlihat, ternyata Tuhan Yesus memiliki ukuran kebahagiaan yang berbeda. Selain itu, di Kisah Para Rasul 20:25, Tuhan Yesus juga berkata, “Adalah lebih berbahagia memberi daripada menerima.” Intinya, kebahagiaan bukan terletak pada apa yang kita punyai, melainkan pada apa yang mampu kita beri. Yang berbahagia adalah orang yang mampu memberi, yaitu memberi dirinya kepada Allah dengan melakukan kehendak-Nya juga memberi diri kepada orang lain dengan mengasihi dan membawa damai.
Kebahagiaan itu ibarat seekor kupu-kupu. Kita kejar, kita buru, dia akan terus lari. Semakin kita kejar dan ingin tangkap dia, makin jauh juga dia dari jangkauan kita. Meninggalkan kita melihatnya terbang tinggi jauh ke angkasa. Namun, apabila kita diam, dia akan mendekat. Dia bahkan bisa hinggap di tangan kita dan kita bisa menikmati keindahannya. Mencari kebahagiaan adalah sebuah frasa yang berlawanan, seperti: es panas atau air kering. Kebahagiaan tidak mungkin dapat kita cari, sehingga tidak mungkin juga dapat kita temukan. Kebahagiaan itu terpancar dari kehidupan yang memberi bukan mencari dan menerima. Ketika kita mulai memberi dengan tulus hati, di saat itulah, kita peroleh kebahagiaan yang utuh. Jauh melebihi besar pemberian kita.
Makna Kebahagiaan Sesungguhnya
Kebahagiaan bukanlah mengenal sesuatu yang kita cari dan akhirnya kita peroleh. Kita bahagia, kita senang. Bukan. Kebahagiaan adalah sesuatu yang kita pancarkan ke luar. Kebahagiaan yang kita pancarkan karena kita telah beroleh kebahagiaan sejati saat kita menerima banyak dari Tuhan dan memberikan banyak pula kepada sesama kita yang lain.
Ijinkan saya menutup kisah ini dengan perbincangan dua orang malaikat menjelang keberangkatan mereka menuju ke bumi. Misi mereka waktu itu hanya satu, meletakkan kebahagiaan di bumi. Tidak boleh berada di tempat yang terlalu sulit. Tidak juga berada di tempat yang terlalu mudah. Usul yang pertama adalah menaruhnya di dasar lautan, namun rasanya itu terlalu sulit. Begitu pula dengan ide untuk menaruhnya di atas gunung. Kedua malaikat ribut karena tidak menemukan titik temu tentang pendapat mereka berdua. Akhirnya, Tuhan turun tangan dan menyuruh kedua malaikat itu meletakkan kebahagiaan pada suatu tempat di bumi. Anda ingin tahu? Benar Anda ingin tahu? Iya dong, rahasia sebesar ini jangan disimpan sendiri, wong kita semua juga ingin berbahagia, kan? Ya sudah, saya akan beritahu, akhirnya kebahagiaan itu diletakkan di dalam diri manusia sendiri. Di hati orang yang tulus, di situlah malaikat meletakkan kebahagiaan itu. Lihat, di dalam tidurnya, hidupnya berbahagia, dia senyum sendiri tuh!
Sumber Gambar : BlogSpot