Allah yang Berempati
Ketika melihat Alkitab dalam Perjanjian Lama, kita cenderung melihat Allah yang bersimpati terhadap umat, dan bukan Allah yang berempati. (Untuk penjelasan detail mengenai perbedaan empati dan simpati bisa dibaca di artikel berikut). Allah adalah pribadi yang berdaulat dan berkuasa jauh di sana. Ketika Allah melihat umat Israel ditindas di Mesir, Allah merasa kasihan dan menolong mereka lewat Musa dan Harun. Dan disaat bangsa Israel memberontak di jaman raja-raja, Allah melalui nabi-Nya berkali-kali menolong dari serangan bangsa sekitar. Berkali-lagi diselamatkan, namun bangsa Israel tetap melawan Allah, dan akhirnya mereka dibuang dan kerajaan Israel dihancurkan oleh bangsa lain hingga tidak berbekas.
Saat melihat fakta seperti ini, kita sulit mengerti apa maksud Allah. Apa yang sebenarnya dirancangkan oleh Allah. Memang melalui para Nabi, Allah menyatakan bahwa semua ini adalah rancangan untung mendatangkan kebaikan, namun bagaimana bisa memahaminya, disaat tembok-tembok telah menjadi puing? Di saat semuanya ludes dan terbakar api? Umat Israel menjadi umat buangan dan yang paling rendah. Kehilangan harta benda dan juga identitas diri sendiri sebagai bangsa pilihan dan ditolak oleh Allah. Israel menjadi kiasan dan sindiran di antara segala bangsa dan rumah ini akan menjadi reruntuhan, seperti yang difirmankan Allah dalam 1 Raja-Raja 9:7-8. Dalam keadaan seperti itu, sulit membayangkan Allah yang berempati terhadap umat.
Yesus Menunjukkan Allah yang Berempati
Namun di Perjanjian Baru, kita melihat wajah Allah yang tidak pernah ditunjukkan oleh-Nya sebelumnya. Wajah Allah yang penuh belas kasih dan empati kepada manusia. Allah menunjukkan sikap empatinya dengan cara turun ke dunia yang gelap, berada di antara manusia, dalam rupa Yesus. Allah tidak hanya berteriak dari atas “Aku memahami keadaan dan kondisimu” saja, namun Allah turun dan merangkul kita dan berkata, “Biarkan Aku yang menanggung seluruh penderitaan dan hukuman dosa itu”. Allah bukan Roh yang mengawang-awang, tidak tahu rasa dan situasi. Allah yang berempati tidak hanya tahu kondisi manusia, namun turut masuk dan merasakan sendiri kondisi manusia.
Dengan Allah menjadi manusia, Allah dapat turut merasakan kelaparan, haus, sakit, penderitaan. Allah merasakan bagaimana ditolak, dikhianati, disakiti, dituduh, bahkan oleh orang-orang yang dikasihinya. Dia bisa merasakan segala sesuatu seperti yang kita rasakan, sama seperti yang kita rasakan. Dan ajaibnya, Allah menunjukkan rasa empatinya dengan komplit dan konkrit, dengan cara yang dapat dipahami dan dimengerti. Pemazmur mengungkapkannya dalam Mazmur 116:1, “Aku mengasihi TUHAN, sebab Ia mendengarkan suaraku dan permohonanku.” Penulis surat Ibrani juga mengungkapkan hal serupa, “Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita…” (Ibrani 4:15).
Lewat karya agung-Nya, Allah menjadi manusia dan menunjukkan pribadi Allah kepada kita. Pribadi Allah yang berempati dan sungguh mengasihi manusia. Kini kita bisa berbagi perasaan dan keluhan kita kepada Allah dengan mudah, karena Dia adalah Allah yang berempati. Kita pun tidak pernah sendirian lagi sebab ada Allah yang bersama dengan kita, bahkan di dalam lubang yang terdalam dan paling gelap sekalipun.
Dan itulah sebab kita dapat berempati kepada orang, sama seperti Allah telah empati terhadap kita lebih dulu. “Terpujillah Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, Bapa yang penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan, yang menghibur kami dalam segala penderitaan kami, sehingga kami sanggup menghibur mereka…” (2 Korintus 1:3-4).
Bahan bacaan: Biblehub: God’s Suffering Sympathy
Sumber gambar: www.faithflow.co