Apakah Bencana Alam Merupakan Hukuman dari Allah?
Beberapa bencana terjadi di Indonesia dalam waktu yang relatif berdekatan. Ada gempa di Lombok, lalu gempa di Palu, Donggala, dan Sigi, disusul dengan gempa di Mamasa, dan banjir longsor di beberapa daerah. Kejadian atau peristiwa bencana sering membuat orang mempertimbangkan arti orang hidup dan menyebabkan untuk mencari pemahaman spiritual dan kenyamanan. Mereka mengajukan pertanyaan seperti: Mengapa hal itu terjadi? Apakah ada Tuhan yang penuh kasih? Apakah bencana alam merupakan hukuman dari Allah?
Allah tidak menggunakan bencana alam untuk menghukum orang yang tidak bersalah. Ia tidak pernah, dan tidak akan bertindak seperti itu. Mengapa? Karena ”Allah adalah kasih”, kata Alkitab di 1 Yohanes 4:8.
Segala sesuatu yang Allah lakukan digerakkan oleh kasih. Kasih tidak menyebabkan celaka terhadap orang yang tak bersalah, karena Alkitab menyatakan bahwa ”kasih tidak melakukan apa yang jahat kepada sesamanya”. (Roma 13:10) Di Ayub 34:12, Alkitab menyatakan, ”Sesungguhnya Allah tidak bertindak dengan fasik.” Allah sering menggunakan peristiwa dalam kehidupan manusia untuk mengubah hati, pikiran dan kehidupan.
Memang, Alkitab menubuatkan terjadinya bencana pada zaman kita, seperti ”gempa bumi yang hebat”. (Lukas 21:11) Namun, Allah tidak bertanggung jawab atas kehancuran yang ditimbulkannya, sama seperti peramal cuaca tidak bertanggung jawab atas kerusakan yang disebabkan oleh topan yang ia prakirakan. Nah, kalau bukan Allah yang menyebabkan derita akibat bencana alam, lantas siapa?
Alkitab menyingkapkan bahwa ”seluruh dunia berada dalam kuasa si fasik”, yakni Setan si Iblis (1 Yohanes 5:19). Ia adalah pembunuh manusia sejak pemberontakannya pada awal sejarah manusia hingga zaman kita. (Yohanes 8:44) Bagi Setan, kehidupan manusia itu tidak ada artinya dan tidak penting. Ia digerakkan oleh ambisi yang mementingkan diri, sehingga tidak mengherankan bahwa dalam sistem global ciptaannya, sifat egois begitu marak. Dalam sistem dunia yang menghalalkan segala cara dewasa ini, banyak orang yang tak berdaya dipaksa tinggal di daerah rawan bencana alam maupun bencana buatan manusia (Efesus 2:2; 1 Yohanes 2:16). Maka, orang-orang tamaklah yang harus dipersalahkan atas beberapa malapetaka. (Pengkhotbah 8:9). Mengapa?
Dalam contoh peristiwa di atas, fenomena alam berubah menjadi bencana, terutama karena ketidakpedulian manusia terhadap lingkungan, konstruksi asal jadi, kesalahan perencanaan, peringatan yang tidak digubris, dan kesalahan manusia lainnya.
Perhatikan sebuah bencana pada zaman Alkitab. Di masa Yesus, sebuah menara yang tiba-tiba runtuh menewaskan 18 jiwa (Lukas 13:4). Bencana ini bisa jadi adalah akibat kesalahan manusia, ”waktu dan kejadian yang tidak terduga”, atau keduanya—tetapi, yang pasti bukan karena hukuman dari Allah.—Pengkhotbah 9:11.
Pernahkah ada bencana yang berasal dari Allah? Ya, tetapi tidak seperti bencana alam atau bencana akibat ulah manusia, bencana tersebut selektif, bertujuan, dan sangat jarang terjadi. Air Bah global pada zaman Nuh serta pembinasaan kota Sodom dan Gomora pada zaman Lot adalah contohnya. (Kejadian 6:7-9, 13; 18:20-32; 19:24) Penghukuman ilahi tersebut melenyapkan penduduk fasik yang tidak bertobat, tetapi meluputkan orang-orang yang adil-benar di mata Allah.
Faktanya, Allah Yehuwa memiliki sarana, keinginan, dan kuasa untuk mengakhiri semua penderitaan dan membebaskan kita dari dampak bencana alam. Mengenai Raja yang Allah lantik, Yesus Kristus, Mazmur 72:12 menubuatkan, ”Ia akan membebaskan orang miskin yang berseru meminta tolong, juga orang yang menderita dan siapa pun yang tidak mempunyai penolong.”
Sumber gambar: Tribunnews/ Kompas