Apakah Pengampunan itu Baik?
Ada kisah yang menarik mengenai dua orang anak yang bermain bersama di sebuah kotak pasir. Seorang anak marah dan melemparkan mainan truknya. Ia lalu berlari ke ayunan terdekat, berbalik, dan berteriak kepada teman bermainnya, “Aku membencimu dan aku tak akan bicara kepadamu lagi.” Sepuluh menit kemudian, mereka telah bermain lempar bola seraya tertawa menikmati permainan. Kemudian, orangtua mereka mengamati tingkah laku anak-anaknya. “Bagaimana anak-anak dapat melakukan hal semacam itu? Bagaimana mereka dapat bertengkar dan berdamai kembali secepat itu?”
“Mudah saja,” mereka memilih untuk berbahagia dan melupakan kesedihan.
Memang benar, anak-anak tersebut telah memilih kebahagiaan daripada keadilan–mana yang benar dan mana yang salah.
Kisah ini mengingatkan saya sejenak mengenai makna kebersamaan, kemampuan untuk beradaptasi, dan memecahkan masalah. Tiga hal terpenting di dalam kehidupan ini. Manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain, yang cenderung memilih untuk memperbaiki hubungan yang renggang ketimbang membenci dan menyimpan dendam. Dan saya harus akui, cukup banyak dari kita yang mau bahkan senang untuk memaafkan. Memaafkan adalah salah satu hal yang muncul dari kemampuan adaptasi kita: bahwa semua orang pasti akan pernah berbuat salah dan menyakiti kita.
Namun nyatanya, kisah kotak pasir di atas hanya menceritakan kisah mengenai anak-anak yang berdamai setelah mereka bertengkar. Dan bagi saya, mungkin kisah ini tidak cocok bagi orang-orang dewasa. Saat seseorang dewasa sengaja menyakiti orang lainnya, dan pihak yang tersakiti merasa kebingungan ketika berniat untuk memaafkan dan berbaikan dengan si penyinggung. Mungkin supaya si penyinggung kapok dan tidak melakukan perbuatannya lagi. Mungkin juga ingin membuktikan superioritas dan keunggulan si tersakiti dibandingkan si penyinggung. Ada banyak kisah yang saya dengarkan dari teman atau adik kelas mengenai hal ini: sangat sulit mengampuni orang lain.
Banyak yang mengatakan bahwa saat si penyinggung merasa dirinya tidak bersalah, Anda memiliki dua pilihan: memaafkan dan tidak memaafkan. Dan kedua pilihan ini nyatanya sangat bergantung kepada keadaan emosional diri Anda sebagai pihak yang tersakiti. Mungkin hari ini Anda begitu emosional dan berharap Anda tidak akan memaafkan kesalahan selamanya. Namun perlahan Anda merasa perasaan Anda terpenjara dan berpikir untuk memaafkan. Di lain sisi kemudian, Anda juga ingin membuat efek jera kepada dia yang telah melukai Anda. Ada pula rasa gengsi dan merasa diri lebih benar ketimbang yang lain.
Pengampunan itu Baik?
Pengampunan memerlukan sebuah kosakata lain yang hanya mampu dilakukan seorang manusia yang sejati. Mengapa disebutkan kosakata lain? Karena memang pengampunan harus dilepaskan melebihi kata-kata maaf yang terucap dari bibir atau sekadar jabatan tangan. Pengampunan muncul dari relung hati terdalam yang sudah berdamai terhadap rasa sakit dan kebencian. Bahasa sederhananya bagi saya adalah penerimaan terhadap rasa sakit dan kebencian itu.
Penerimaan sendiri adalah sebuah tanggapan yang jujur dan bertanggung jawab terhadap luka perseorangan ketika si penyinggung tak dapat atau tak mau memulai proses penyembuhan–yaitu saat ia tidak mau atau tidak menghendaki memperbaikinya. Penerimaan tidak membutuhkan peranan dari si penyinggung, namun dampak baiknya akan menyembuhkan hati si tersakiti.