Cinta Indonesia
Punyakah kita rasa cinta pada tanah air ini? Dalam bentuk apa kecintaan itu kita tunjukkan? Pertanyaan-pernyataan yang bersifat reflektif ini rasanya tepat untuk kita ajukan di saat 17 Agustus memperingati HUT ke-65 RI, atau ketika bangsa ini memperingati hari kemerdekaan. Sebab, tidak tertutup kemungkinan kita yang lahir dan hidup di negeri ini tidak memiliki rasa cinta, tidak punya rasa memiliki, dan tidak pernah berbuat apa-apa untuk republik ini.
Dalam agama, cinta tanah air adalah sebagian dari iman. Ini menunjukkan betapa kecintaan kepada tanah air merupakan sesuatu yang sangat penting. Dan, seharusnya semua penduduk di negeri ini memiliki rasa tersebut. Namun, fakta yang kita saksikan bicara lain. Sesuatu yang penting ini ternyata tidak dianggap penting. Tanah air ini menjadi rumah yang tak bertuan. Para penghuninya berebut untuk menjarah dan memorak-porandakannya. Jika hari ini kita melihat daerah terpencil, kesengsaraan dan kesejahteraan selalu dikaitkan dengan pemerintah pusat. Banding-membanding pun kita lakukan. Padahal tanah air ini tidak memandang daerah dan pusat. Tetapi itulah yang jadi kenyataan. Makanya, memandang tanah air harus ada kesetaraan dan keadilan.
Kenyataan pada sisi lain, pemimpin yang seharusnya menebar kebaikan malah mengumbar keburukan. Agamawan yang seharusnya menyampaikan kebenaran malah menyembunyikan kebenaran. Ilmuwan yang seharusnya menebar pencerahan malah menyuguhkan kegelapan. Aparat keamanan yang seharusnya menebar ketenteraman malah menebar ketakutan. Hakim yang seharusnya menebar keadilan malah menyuburkan ketidakadilan. Pengusaha yang seharusnya menebar kemakmuran malah melahirkan malapetaka. Penggambaran seperti itu mungkin terlalu ekstrem. Namun, rasanya kita tidak perlu mengingkarinya. Banyak di antara kita baik secara sadar maupun tidak telah melakukannya.
Bila ukuran kecintaan itu hanya dengan memeriahkan HUT kemerdekaan, mungkin di antara kita telah melakukan. Bukankah setiap 17 Agustus kita berlomba-lomba menggelar kegiatan dan membenahi lingkungan kita? Mewujudkan rasa cinta seperti itu tentu tidak dilarang. Tapi, itu nilainya sangat rendah. Sangat jauh dari arti cinta tanah air yang sesungguhnya. Tanah air ini hakikatnya rumah kita bersama. Maka, seharusnyalah kita menjaga, memelihara, dan menjadikan sebagai tempat yang nyaman untuk hidup bersama. Rumah ini harus menjadi surga kita bersama. Bukan mejadi surga untuk sebagian dan jadi neraka untuk sebagian yang lain.
Kehancuran dan kesengsaraan yang kita hadapi sering merupakan buah dari apa yang kita lakukan sendiri. Hujan yang seharusnya menjadi berkah malah menjadi bencana. Ini terjadi karena sebagian di antara kita begitu liar membabati hujan. Dengan kesuburan tanah dan kekayaan alam yang dimiliki negeri ini, bangsa ini seharusnya hidup dalam kecukupan materi. Namun, fakta menunjukkan sebaliknya. Bangsa ini menjadi bangsa yang miskin dan menjadi peminta-minta. Kekayaan alam dieksploitasi dengan tidak ada rasa tanggung jawab. Jutaan hektare hutan kita yang memberikan kesejukan, ternyata membawa petaka yang tidak pernah habis, sengsara ketika hujan dan ketika kemarau. Sungguh ironis! Ini hanya gambaran kecil, imbas dari wujud ketidakcintaan kita kepada tanah air ini. Akankah kita terus melakukannya?
Dituliskan saat kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 2010, di Bandung