Esensi Belajar Bahasa Asing: Pidato Pak Jokowi
Sudah menonton video presentasi Presiden RI Joko Widodo di Konferensi Tingkat Tinggi APEC di Beijing lalu? Bagaimana pendapat teman-teman?
Akun resmi penyelenggara KTT APEC di Youtube mencatat komentar seperti ini. “Saran gue aja sih buat Pak Jokowi, kenapa gak nyoba kursus di Public Speaking School, kan banyak tuh biar lebih bagus aja public speaking nya terutama pake B inggrisnya…” (Sumber)
Atau komentar lain seperti ini: “Tuh kan kebukti gak banget bahasa inggrisnya, jika ingin jd pemimpin mau gak mau bahasa internasional harus bisa dn kuasai, public speaking juga…. aduhhhh pak maluu maluin pak…. ?” (Sumber)
Atau komentar Hendry Rachman: “As the president, his english is very bad. Even the worse than ever! Embarrassing.” (sumber)
Di sisi lain, Desi Anwar menyatakan bahwa pidato Joko Widodo adalah komunikasi efektif dan berdampak bagi Indonesia. Jodhi Yudono dalam tulisannya yang dimuat di website Kompas menyatakan dengan berani bahwa mereka hanyalah orang sirik. Orang sirik yang cuma gemar mencari kesalahan dan memberikan komentar miring kepada Presiden Joko Widodo.
Pemimpin negara lain pun menyampaikan komentarnya seperti yang dirangkum oleh Kompas.
Jangan berani berkomentar soal presentasi Presiden Joko Widodo di Konferensi Tingkat Tinggi APEC di Beijing lalu kalau kamu belum pernah presentasi di depan banyak hadirin! Jangan cuma berani komentar, padahal pidato bahasa asing aja belum pernah! Inilah sedikit pesan saya kepada teman-teman yang sibuk berkomentar, mempermasalahkan presentasi Joko Widodo dalam bahasa Inggris yang katanya pas-pasan dan medok.
Ulasan Presentasi Presiden RI Joko Widodo: Esensi Belajar Bahasa Asing
Komentar beragam atas presentasi Presiden RI Joko Widodo di KTT APEC Beijing lalu membuktikan kepada kita, bahwa rakyat Indonesia tidak tahu apa esensi belajar bahasa asing. Meskipun banyak yang jago bahasa global, saya harus mengatakan bahwa pikiran Anda tetap lokal. Kita sibuk mempersiapkan diri belajar vocabulary dan grammar, namun lupa untuk apa dan bilamana mempergunakannya. Kita gampang merasa diri hebat karena nilai TOEFL/TOEIC tinggi, namun lupa apa esensi belajar bahasa asing yang sesungguhnya. Mulut boleh global, namun otak masih lokal.
Kita masih berpikir bahwa orang harus betul-betul fluent, tanpa medok, tanpa jeda, tanpa cela dan cacat tata bahasa jika berpidato dalam Bahasa Inggris. Lebih baik mengunci mulut rapat-rapat daripada berbicara namun tidak dimengerti. Lebih baik diam, daripada malu karena cara bicara yang medok. Dan saya jujur kalau saya juga berpikir hal yang sama dahulu. Berikut pengalaman dan refleksi saya mengenai belajar bahasa asing yakni bahasa Jepang.
Esensi Belajar Bahasa Asing
Pertama kali tiba di Jepang, bersama dengan teman-teman dari negara lain, kami ditempa untuk berlatih bahasa Jepang selama enam bulan full. Pelajaran bahasa Jepang dimulai sejak jam 9 pagi hingga 5 sore, dan masih harus melanjutkan pekerjaan rumah mengulang 25-30 kanji, membuat sakubun atau cerita singkat, membuat contoh kalimat menurut tata bahasa Jepang, dan latihan mendengar percakapan Bahasa Jepang. Dengan semangat berapi-api saya berlatih tekun dan mengerjakan seluruhnya tanpa lalai. Ujian kanji dan tata bahasa pun saya lalui tanpa kesulitan dengan mengandalkan kemampuan daya ingat saya.
Namun, saya sedikit takut dan waswas ketika mendapat tugas piket harian. Pertama saya harus membawa buku-buku bahan pelajaran dan radio dari ruang guru ke dalam kelas. Saya takut salah ucap bahasa Jepang kala mengetok pintu dan menyampaikan salam serta maksud hendak mengambil buku pelajaran. Tidak hanya itu, saya juga harus memimpin teman satu kelas untuk memberikan salam pada guru. Untuk itulah, tiap kali piket saya berulang-ulang mengucapkan kalimat itu dan menghapalnya. Saya pikir dengan hapal semuanya, tidak bakal salah ucap dan semua pasti aman.
Dalam presentasi tengah semester, saya pun berhasil menghapal tulisan esai 800 huruf Jepang mengenai hari raya di Indonesia. Saya bisa membawakan presentasi dengan lancar, tanpa kesalahan tata bahasa. Begitu pula dengan presentasi akhir semester kelas Bahasa Jepang. Saya berhasil menyampaikan esai 1200 huruf mengenai budaya minum susu bubuk di Indonesia, semuanya saya hapal di luar kepala. Banyak orang memuji dan berkata bahasa Jepang saya bagus dan lancar, dan menyebut saya profesor susu, hehe.
Tapi ternyata belajar bahasa asing tidak seperti yang saya bayangkan. Masuk di universitas dan mengikuti kuliah dalam bahasa Jepang, saya betul-betul kesulitan mengikutinya. Saya pun hampir tidak menegur siapa-siapa di hari-hari tahun pertama kuliah. Saya begitu takut dan was-was berbicara bahasa Jepang kepada teman orang Jepang. Saya takut kalau maksud saya salah dimengerti dan akhirnya malu sendiri.
Seiring berjalannya waktu, tuntutan untuk bisa berkomunikasi dalam bahasa Jepang makin berat. Saya harus bisa suit Jepang, harus tahu nama-nama alat-alat praktek fisika dan kimia, menyampaikan kisah mengenai daerah asal, menyampaikan pendapat atau presentasi saat kerja kelompok, atau berdiskusi dengan Sensei saat menganalisis hasil kerja praktek. Saya dituntut untuk berbicara dan menyampaikan pendapat di depan orang Jepang. Berkali-kali saya takut dan akhirnya gagal menyampaikan bahasa Jepang yang benar.
Kekuatiran saya makin bertambah dengan adanya kerja praktek menjadi Sensei (Jitsumu Jisshuu) di Prefektur Saga Jepang pada tahun ketiga. Pertama, saya harus menelepon ke tempat praktek dan memberikan perkenalan singkat. Kedua, tiba di Saga saya harus memberikan komentar, harapan, dan tujuan kepada semua pegawai dan guru di sekolah teknik Saga. Ketiga, saya harus memberikan pendapat saat rapat antara Sensei bidang teknik elektro. Dan keempat yang paling berat, saya mesti memimpin kerja praktek dan membawakan kuliah teknik elektro.
Bagaimana cara menelepon dengan sopan santun? Saya tidak tahu. Bagaimana cara seorang mahasiswa 21 tahun, hitam, dan dari negara asing berbicara di depan para staf, guru, dan kepala sekolah? Saya tidak tahu. Bagaimana bisa seorang mahasiswa kecengan bisa memberikan pendapat dalam rapat para guru? Bagaimana cara menyampaikan pendapat yang objektif, rasional, sopan di depan para guru? Saya tidak tahu. Bagaimana cara membawakan mata kuliah dalam bahasa Jepang di depan para siswa Jepang yang umurnya 5-10 tahun lebih tua? Bagaimana memimpin kerja praktek mengenai teknik elektro bagi para siswa yang sudah berpengalaman kerja di perusahaan rekanan listrik? Saya tidak tahu sama sekali.
Kekuatiran dan ketakutan itu yang membuat saya sama sekali tidak bisa tidur saat kerja praktek di Saga. Saya terus coba berpikir dengan kalimat seperi apa saya mesti berbicara? Bagaimana memimpin kuliah dan kerja praktek? Adakah para siswa mendengarkan kuliah yang saya bawa? Apakah maksud saya bisa tersampaikan dengan baik? Apakah saya bakal ditertawakan nantinya? Semua kekuatiran ini membuat mata saya tetap melek hingga pukul 2 malam. Akhirnya saya berdoa sekali lagi dan bisa tidur meski hanya 4 jam saja.
Hingga akhirnya tiba waktunya saya membawakan kuliah dalam bahasa Jepang. Kala itu saya memimpin kuliah jam pertama dan kedua, dari jam 9 hingga 11 siang, dan mengajarkan tentang arus bolak balik 3 fase. Setelah para siswa memberikan salam, mulailah saya menulis di papan tulis sambil menunjuk presentasi dengan pointer. Kepala sekolah, wakil kepala sekolah, beserta dengan Sensei pembimbing (tantou) masuk dan berdiri di baris belakang. Ada 20 siswa dan 5 sensei yang menunggu saya memulai kuliah pagi itu. Dalam saat terjepit itulah, saya betul-betul merasakan penyertaan dan hikmat Tuhan. Saya meninggalkan semua hapalan saya dan mengajar kuliah teknik elektro dalam bahasa Jepang secara lepas, spontan, tanpa hapalan dan teks.
Di saat kelemahan itu, saya benar-benar merasakan hikmat Tuhan. Tuhan membimbing dan menyematkan kata-kata dalam bibir saya. Dan hari itu, akhirnya saya bisa menyelesaikan kuliah dan menjawab pertanyaan-pertanyaan siswa dengan baik, meskipun beberapa kali saya salah dalam menyebut kata bahasa Jepang.
Di kesempatan berikutnya ketika memimpin kerja praktek, tingkat kesulitan makin bertambah. Saya harus bisa menjelaskan teknik-teknik kendali analog dengan kabel kepada siswa. Tidak hanya itu, saya harus membuat soal-soal latihan dengan bahasa Jepang yang benar dan mencetaknya. Saya juga harus melihat 20 siswa satu per satu, bagaimana cara mereka berkerja, memotong kabel dengan pisau, mengupas kabel, dan menjamin supaya tidak ada yang luka atau celaka. Semuanya menuntut kemampuan bahasa Jepang yang spontan dan tegas.
Puji Tuhan, meskipun banyak kekurangan sana sini, cara bicara yang medok, kosa kata yang salah, tata bahasa yang tidak pas, saya berhasil menyelesaikan kerja praktek selama satu bulan di Saga. Para staf dan sensei memberikan pujian dan banyak kenang-kenangan. Beberapa sensei pun masih sering mengirimkan pesan kepada saya lewat email. Mereka mengatakan betul-betul kagum dengan persiapan saya. Mereka tahu bahwa saya bisa menyampaikan kuliah dan kerja praktek dengan baik hanya dengan persiapan yang matang dan pengetahuan yang menyeluruh.
Para siswa yang lebih tua dari saya pun memberikan ucapan terimakasih karena mengajarkan hal-hal dari sudut pandang berbeda. Mereka juga berkata bisa merasakan semangat dan inspirasi ketika saya mengajar. Saya bisa berfoto dengan mereka semua di hari terakhir. Bahkan hingga hari kepulangan saya ke Tokyo pun, mereka tetap memanggil saya “Sensei…sensei…!“
Dalam perjalanan pulang naik Shinkansen dari Hakata hingga ke Hiroshima, saya merenungkan semua yang terjadi dalam kerja praktek sebulan itu. Bagaimana semua kekuatiran dan ketakutan saya itu lenyap dan berganti dengan sukacita berkat pimpinan Tuhan. Bersyukur lewat kerja praktek di Saga saya bisa bertemu dengan orang-orang Jepang yang menyadarkan saya esensi belajar bahasa asing (Jepang). Orang-orang yang menyadarkan saya pentingnya menyampaikan pendapat seadanya, spontan tanpa dibuat-buat. Saya pun mantap dengan pola pikir yang baru, pola pikir mengenai esensi belajar bahasa asing. Tidak perlu menunggu sampai kemampuanmu sempurna, mulailah dari kekuranganmu. Sebab dari kekurangan itulah, kita bisa sadar dan punya kesempatan memperbaiki diri.
Menghadapai orang luar dengan bahasa asing, orang tidak melihat kemahiran bahasamu. Orang tidak percaya dengan pidato yang panjang dan hebat. Orang justru percaya dalam sapaan singkat “selamat pagi” yang disampaikan dari dalam hati. Dalam kekurangan bahasa itulah, esensi belajar bahasa asing itu tersampaikan. Inilah hasil refleksi saya ketika kembali dari kerja praktek di Saga tahun lalu.
Apa Esensi Belajar Bahasa Asing Sesungguhnya?
Kini ketika melihat kembali pidato bahasa Inggris Presiden RI Joko Widodo di depan pemimpin dunia dan para CEO, saya sangat paham mengapa orang Indonesia meremehkan dan orang luar memuji pidato 13 menit itu. Saya paham mengapa orang Indonesia meremehkannya karena menganggap kemampuan bahasa asing tanpa catat dan cela itu nomor satu. Di sisi lain, saya paham mengapa orang asing memujinya. Daripada mendengarkan terjemahan orang lain yang lancar dan tulen, orang asing sangat menghargai upaya menyampaikan maksud dalam bahasa Inggris. Meski ada cela dan catat di mana-mana visi dan maksud hati sebenarnya tersampaikan. Justru dalam kekurangan itulah, persiapan pidato yang matang bisa dirasakan.
Pak Jokowi tidak hanya berhasil merebut hati para pemimpin dunia saja, namun Beliau juga berhasil mengajarkan kepada kita apa esensi belajar bahasa asing yang sesungguhnya. Dia menunjukkan persiapan matang, semangat gigih tanpa takut, strategi mumpuni menghadapi tantangan global.
Ke depannya, kita mesti berhadapan dengan para ekspatriat dan para direktur perusahaan multinasional di Indonesia. Arus dana dan SDM dari luar negeri pun makin gencar. Ketika teman-teman harus berhadapan dengan orang asing dengan umur, pangkat, kedudukan yang lebih tinggi janganlah berkecil hati. Tidak perlu takut salah dalam berbicara. Sebab justru keberanian menyampaikan pendapat itulah yang membuat mereka percaya. Justru dalam bahasa asing yang pas-pasan itu, mereka merasakan semangat dan kesungguhan kita.
Sesungguhnya inilah esensi belajar bahasa asing itu…
Sumber berita:
- Website ofisial organisasi APEC
- kompas.com
- http://nasional.kompas.com/read/Joko.Widodo.dan.Si.Sirik
- http://thejakartaglobe.beritasatu.com/opinion/desi-anwar-joko-widodo-ceo-of-indonesia-inc/
Sumber gambar : Kompas, Facebook 1, 2, 3