Iman dan Prasangka Kita
Pada kenyataannya, memang tidak dapat dipungkiri bahwa sering pikiran kita berkata bahwa mungkin saja Allah bukanlah Allah yang pengasih saat muncul kesedihan, kesukaran, bahkan bencana alam atau wabah yang merenggut sekian banyak nyawa. Pikiran ini kadang mengganggu iman kita kepada-Nya.
Namun, nyatanya kita–sebagai manusia yang terbatas ini–memang tidak mungkin dapat mengerti apa maksud Allah melalui setiap kesedihan, kesukaran, dan penderitaan itu. Hikmat Allah jelas melebihi hikmat kita, yang hanya mampu melihat hal-hal tersebut dari sisi masa kini. Allah jelas mengetahui rancangannya yang lebih jelas dan rinci mengenai masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.
Iman dan Prasangka Kita
Ijinkan saya memberikan sebuah contoh berikut.
Ini cerita tentang seorang pria yang duduk di depan perapian dan meminum kopi hangat di tengah malam bersalju yang sangat dingin. Ia hampir tertidur saat itu. Tiba-tiba terdengar suara benturan yang keras. Ia kaget dan terbangun. Dia mencari asal suara tersebut.
Ternyata itu adalah suara burung yang menabrak jendela. Burung itu merasa kedinginan dan hendak masuk ke dalam rumah yang hangat itu. Burung itu kini ada di tengah-tengah salju dan kedinginan. Pria ini merasa iba dan ingin sekali membawa masuk burung itu. Saat pria mendekati burung itu untuk membawanya masuk, malah burung itu takut dan pergi menjauh. Pria ini berpikir dalam hati: “Aku hanya ingin menolong kamu. Aku hanya ingin mengajak kamu ke dalam, supaya tidak mati kedinginan.” Akhirnya, ia mendapatkan ide. Dia memecah-mecahkan roti dan meletakkannya dari depan rumahnya hingga ke dekat perapian, supaya burung itu tertarik dan masuk ke dalam rumah. Kelihatannya rencananya akan berhasil, sang burung tertarik dan makan roti itu. Namun ketika melihat manusia, burung itu ketakutan dan malah terbang menjauh ke luar rumah.
Pria itu sedih melihat hal itu. “Aku hanya ingin menolongnya, supaya dia tidak mati sia-sia karena kedinginan.” Dia menutup pintu rumahnya dan kembali duduk ke dekat perapian untuk menghangatkan badannya. Kita sampai di sebuah kesimpulan: burung itu telah salah duga. Yang dia kira berbahaya ternyata adalah cara untuk menolongnya dari kedinginan malam. Burung itu mencapai kesimpulan seperti itu karena ia bukan manusia.
Sekarang, bagaimana jika analogi antara pria dan burung tersebut kita gunakan sebagai analogi kita dengan Allah? Saya percaya, bahwa Allah melakukan hal yang sama kepada kita, namun kita tidak mampu memahami mengapa Dia melakukannya. Kita sama seperti burung yang tidak mampu mengerti motivasi si pria yang ingin menolongnya. Sama seperti burung yang perlu mempercayai pria itu, kita juga perlu mempercayai Allah.
Lantas, berarti kunci dari pemahaman kita akan kesukaran, kesedihan, dan penderitaan itu adalah iman kita. Iman dan kepercayaan kita kepada Allah itu adalah sesuatu yang aktif. Dan ia menuntut respons kita. Berbeda dengan akal yang hanya berpedoman pada adanya bukti dan petunjuk, iman memang berprasangka (prejudiced). Apa yang dimaksud dengan prasangka?
Seandainya seorang polisi tiba-tiba datang ke hadapan saya dan memberi tahu saya bahwa mereka sudah mengangkap seorang sahabat saya ketika dia sedang merampok bank dan melukai beberapa orang saat melakukan aksinya, dan mereka mempunyai beberapa saksi. Saya jelas tidak percaya dan menganggap polisi telah berbohong. Saya akan berkata, “Saya mengenalnya. Ia tidak mungkin melakukan hal seperti yang bapak polisi katakan tadi. Anda yang tidak mengenalnya seperti saya.” Kemudian polisi itu akan bertanya balik, “Apakah kamu mempunyai bukti?” Bukti yang saya miliki tidak sama dengan bukti yang polisi punya sekarang, namun ada bukti bahwa sahabat saya tidak mungkin melakukan hal tersebut. Dalam hal ini, saya sudah berprasangka. Prasangka saya ini adalah prasangka yang masuk akal, karena pengalaman saya dengan sahabat saya: kebaikan, ketulusan, dan rasa hormatnya kepada orang lain sudah menjadi bukti bagi saya bahwa ia tidak akan pernah mungkin merampok bank dan melukai orang lain.
Jadi, Allah yang bukan pengasih karena Ia mengijinkan penderitaan, kesakitan, dan kesedihan itu terjadi jelas akan terbantahkan melalui iman kita. Iman kita memberikan kita sebuah prasangka: Allah adalah kasih. Dan Ia sudah membuktikan kasih itu kepada saya, jauh sebelum saya bahkan mengenal Dia.