Kebenaran yang Sejati : Sebuah Pencarian
Belakangan ini kita dibingungkan oleh berita-berita pemerintah yang ingin mengembalikan sistem pemilihan presiden dan kepala daerah kepada pemilihan oleh DPR. Banyak kepala daerah yang kemudian protes dan berupaya menggagalkan undang-undang tersebut sambil mengatakan bekerja atas nama rakyat. Mereka menjadikan rakyat alasan untuk menolak undang-undang tersebut. Serupa dengan para wakil rakyat di DPR, mereka juga beralasan pilkada oleh DPR dan DPRD dilakukan juga atas nama rakyat, mengurangi korupsi yang terjadi di daerah-daerah. Dua pihak bertentangan, namun sama-sama menggunakan alasan atas nama rakyat. Mana yang benar? Adakah kebenaran yang didengungkan mereka? Atau kepalsuan yang dipungkus rapi. Eh tapi tunggu dulu, apa sih kebenaran itu?
Hari ini kita benar-benar dibuat bingung. Bingung menentukan pilihan di antara pilihan-pilihan yang tersedia. Kita bingung memilih mana yang benar, mana yang tidak. Semuanya nampak abu-abu, tidak jelas. Kita jadi cenderung berpikir semua pilihan rasanya benar hanya perlu semangat dan komitmen menjalaninya. Makin lama kita jadi berpikir semua pilihan bisa saja benar, tidak ada yang namanya kebenaran yang sejati. Sebab kebenaran itu relatif bukan tergantung pribadi masing-masing?
Eits stop, tunggu dulu. Apakah teman-teman mengangguk kepala menyetujui pernyataan saya di atas? Kalau iya, teman-teman mesti hati-hati karena pemikiran seperti ini bisa membuat teman-teman berubah. Bisa-bisa teman-teman mengabaikan kebenaran yang sejati, dan memutlakkan kebenaran relatif. Makin lama, teman-teman bisa makin jauh dan menyangkal kebenaran yang sejati itu.
Pencarian akan Kebenaran yang Sejati
Lumayan panjang saya berbicara mengenai kebenaran. Tapi sebenarnya adakah kebenaran? Apakah kebenaran yang sejati itu?
Tahukah teman-teman, bahwa pertanyaan serupa ditanyakan oleh Pilatus kepada Yesus dua ribu tahun silam.
Maka kata Pilatus kepada-Nya: “Jadi Engkau adalah raja?” Jawab Yesus: “Engkau mengatakan, bahwa Aku adalah raja. Untuk itulah Aku lahir dan untuk itulah Aku datang ke dalam dunia ini, supaya Aku memberi kesaksian tentang kebenaran; setiap orang yang berasal dari kebenaran mendengarkan suara-Ku.” Kata Pilatus kepada-Nya: “Apakah kebenaran itu?” (Yohanes 18:37-38)
Mengenai bacaan ini, sewaktu SMA dulu saya sempat berdiskusi panjang dengan seorang teman. Teman saya mengatakan bahwa Pilatus ini melakukan kesalahan fatal. Biarpun dia adalah seorang kepala pengadilan yang bertugas memutuskan mana yang benar dan salah, namun dia melupakan esensi kebenaran tersebut. Setiap hari dia harus menjatuhkan keputusan akan kebenaran, tapi dia tidak tahu apa landasannya.
Kita mungkin sama halnya dengan Pilatus. Kita melakukan kesalahan fatal dengan memisahkan kebenaran dari Allah. Kita sering berlaku seperti Pilatus, berpikir bahwa ada kebenaran yang sejati, yang independen, mutlak pada dirinya sendiri. Tapi apakah benar begitu adanya?
Nyatanya Yesus menyatakan jelas-jelas pada Yohanes 14:6, “Akulah jalan dan KEBENARAN dan hidup…”
Dengan menanyakan apakah kebenaran itu, Pilatus berasumsi bahwa kebenaran hanyalah sebuah konsep pikiran. Kebenaran hanya ada dalam angan-angan manusia, tanpa memiliki dasar realitas. Bahkan pertanyaannya pada Yesus pun seakan bernada bahwa tidak ada yang bisa mengetahui kebenaran yang sejati itu. Sebab bagi Pilatus, kebenaran yang sejati itu tidak bisa dipelajari atau diketahui.
Menemukan Kebenaran yang Sejati
Lalu apa yang Yesus katakan tentang kebenaran yang sejati itu? Yesus tidak menganggap kebenaran adalah konsep dan terpisah dari diri-Nya. Sebaliknya, Yesus menyatakan diri-Nya adalah kebenaran yang sejati itu. Yesus tidak memisahkan kebenaran dari diri-Nya. Sebab Yesus yang adalah Allah, adalah kebenaran yang sejati itu.
Berbeda dengan tokoh-tokoh agama lain, Yesus tidak menyuruh melakukan kebenaran. Tapi Yesus menyatakan kebenaran dalam diri-Nya, sebab Yesuslah kebenaran yang sejati itu (Yohanes 14:6). Mengenal Yesus berarti mengenal kebenaran. Mempercayai Yesus berarti mempercayai kebenaran yang sejati di dalam Allah.
Orang-orang duniawi menyatakan tidak ada kebenaran yang sejati. Itu disebabkan karena mereka memisahkan kebenaran yang sejati dari pribadi Allah. Mereka merelatifkan kebenaran mutlak yakni Allah, dan memutlakkan hal-hal relatif. Merasa bahwa apa yang mereka pikirkan adalah kebenaran yang sejati. Di lain pihak orang Ateis menyatakan ada kebenaran yang sejati tapi menyangkal keberadaan Allah. Mereka coba mendefinisikan suatu kebenaran yang sejati sambil mencoba memutlakkan kebenaran lainnya (tidak ada Allah). Pernyataan mereka menjadi tidak koheren, sebab bagaimana mungkin ada kebenaran sejati yang jamak?
Terhadap orang-orang seperti ini hendaknya kita berhati-hati jangan sampai ikut terseret dan merelatifkan atau meniadakan kebenaran yang sejati. Yang lebih parah jangan sampai justru mencari kebenaran dengan kekuatan sendiri. Yang ada, teman-teman tidak akan pernah sampai kepada kebenaran yang sejati itu.
Sebab menemukan kebenaran yang sejati hanya satu caranya. Tidak lain tidak bukan, hanya di dalam Yesus Tuhan saja.
Sumber gambar : Blogspot