Meleleh demi Orang Lain itu Sepadan
Hari minggu kemarin, di salah satu stasiun televisi ditayangkan film Disney berjudul Frozen. Teman-teman pasti sudah tahu, khususnya yang punya anak balita. Film ini sudah mulai tayang di Bioskop Indonesia hampir 3 tahun yang lalu dan menjadi film favorit anak-anak khususnya anak perempuan. Saya masih mengingat pertama kali menonton film ini adalah saat penerbangan dari Cengkareng ke Haneda di Maret 2015 kemarin. Saat itu saya tidak sepenuhnya konsentrasi menonton film karena kadang-kadang tertidur karena mengantuk.
Pernah juga saya menonton film ini di dalam channel Fox Family saat berada di Filipina. Namun, karena ada kegiatan, saya harus pergi dan tidak bisa menonton penuh fil Frozen ini. Jadilah hari minggu kemarin adalah kali pertama saya menonton penuh film ini. Diangkat dari buku cerita karya Hans Christian Andersen, dengan tokoh utama Elsa dan adiknya Anna. Elsa punya kekuatan super untuk membekukan sesuatu dan juga mendatangkan musim dingin. Kekuatan supernya ini membuatnya ketakutan karena ia tidak bisa menguasainya dan membahayakan orang lain, termasuk adiknya Anna. Perjuangan Anna untuk menemukan Elsa dan menghentikan musim dingin menjadi plot utama film ini. Ada tokoh lainnya, seperti Kristoff dan rusanya bernama Sven, dan juga Olaf. Manusia salju buatan yang menjadi hidup saat Elsa melarikan diri.
Saya tidak akan membahas mengenai plot atau kisah film tersebut. Saya ingin bercerita mengenai Olaf, manusia salju buatan Elsa dan Anna saat masih anak-anak. Dengan tangannya dari ranting pohon dan hidung wortelnya, Olaf yang lucu membantu Anna untuk mencari Elsa. Saat menemukan Anna terkunci kedinginan di dalam ruangan istana, Olaf dengan segera merapikan kayu, lalu menyalakan perapian untuk menghangatkan ruangan. Perlahan, ia membantu Anna yang sudah lemas kedinginan mendekat ke perapian. Olaf yang merupakan manusia salju pun perlahan meleleh (mencair), dan meskipun Anna sudah menyuruhnya menyingkir dan keluar dari ruangan, Olaf tetap menemani Anna di dekat perapian.
“Meleleh demi orang lain itu sepadan,” itulah yang dikatakan Olaf kepada Anna saat ia menolak menjauh dari perapian.
Meleleh demi orang lain itu sepadan
Apa yang dilakukan Olaf mengingatkan saya akan sebuah lilin. Untuk memberi terang sebatang lilin harus berkorban. Ia meleleh demi orang lain yang membutuhkan terang. Ia rela menjadi pendek bahkan habis. Seandainya tidak, ia tidak bisa bersinar. Sebatang lilin hidup bukan untuk dirinya sendiri. Ia memberi diri. Lilin memberi terang secukupnya saja. Namun bila listrik padam, sebatang lilin cukup menolong kita melihat meja, kursi, atau jalan yang aman untuk dilalui.
Seperti Olaf, saya banyak belajar bahwa kita hadir di dunia ini bukan untuk diri sendiri saja. Selalu ada Anna-Anna lain di sekitar kita. Ada orang lain yang membutuhkan pertolongan kita. Mungkin mereka sedang merasa kedinginan dan butuh dekapan hangat. Ada juga yang mengalami penolakan dan butuh penerimaan kita. Ada juga yang mengalami masa-masa berat dan butuh dukungan dan doa kita. Kita adalah ibarat sebatang lilin. Kita hidup bukan untuk diri sendiri. Kita menjadi terang dan menunjukkan jalan kepada orang lain.
Dunia kini menjadi semakin gelap. Untuk dapat memberi terang, kita harus rela meleleh. Cahayanya kecil, tapi ia bersinar dengan setia. Diam dan bersahaja, lilin memenuhi perannya dengan setia: menjadi terang dan memberi terang. Lilin itu bersinar terus. Sumbunya terbakar dan batangnya meleleh. Suatu saat nanti, sumbunya akan menjadi abu dan batangnya akan habis. Itulah saat lilin menyelesaikan tugasnya. Tetapi itu tidak berarti lilin itu gagal dan sia-sia. Justru sebaliknya, lilin itu telah menjalankan perannya dengan baik dan berguna.
Sumber gambar: theknockturnal.com