Mengapa Harus Memaafkan?
Dalam artikel sebelumnya, saya sudah menjabarkan setidaknya dua alasan yang membuat kita tidak memaafkan. Kenyataannya memaafkan memang harus kita lakukan dalam hidup ini, yang berbeda hanyalah masalah waktu saja. Ketika kita memutuskan untuk tidak memaafkan dengan alasan melindungi diri dari sakit, kita membuat diri menjadi dingin dan pahit. Lantas, mengapa harus memaafkan?
Mengapa Harus Memaafkan?
Tidak memaafkan menjauhkan kita dari semua usaha perdamaian
Ketika kita mengabaikan si penyinggung dari kehidupan kita, sebenarnya kita menyangkal kesempatannya untuk memohon pengampunan dan mengobati luka kita. Kita akhirnya juga menyangkal diri akan terjadinya rekonsiliasi antara kita dengan dia. Usaha perdamaian sebenarnya masih akan dapat terjadi di lain waktu, namun kesempatan memperbaiki hubungan akan lenyap ketika kita memutuskan untuk tidak memaafkan. Kita mengabaikan dan mengijinkan rasa benci itu mengalahkan keinginan setiap manusia untuk memiliki hubungan yang baik dengan sesama manusia.
Memang tidak memaafkan mengembalikan harga diri kita, namun menjauhkan kita dari kesempatan menjadi pribadi yang pengertian
Ketika kita menolak memaafkan, kita berusaha memindahkan semua kesalahan kepada si penyinggung dan membuat kita sama sekali tidak bersalah. Harga diri palsu ini kita ciptakan sebagai wujud perlindungan diri dari kegoyahan jiwa kita. Kita sebenarnya rapuh–dan untuk membuatnya tidak terlihat–kita memakai kekuatan palsu. Kekuatan palsu yang sebenarnya menghalangi kita untuk belajar, berubah, dan tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Kita gagal menjadi orang yang pengertian. Kita memaksa orang lain untuk mengerti kita.
Tidak memaafkan meracuni kita secara fisik dan emosional
Saat menolak memaafkan sebenarnya kita seakan-akan menyuntikkan racun ke dalam aliran darah kita sendiri. Awalnya memang terlihat kuat, namun perlahan-lahan bisa racun itu meracuni kita sendiri. Kita akhirnya terpisah dari kehidupan, mengabaikan orang-orang yang mengasihi kita, menjauh dari kebahagiaan dan canda tawa. Mungkin kita nyaman dengan kesendirian–berjalan-jalan sendiri, membaca buku, atau duduk di kamar sehatian–namun sebenarnya amarah itu terus menjalar masuk ke setiap sendi kehidupan kita.
Kita Harus Mau Memaafkan
Walau kebencian dan dendam memberikan sedikit kekuatan, kebencian juga membuat kita lemah secara fisik. Berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Thoresen, Harris, dan Luskin, kita jadi mudah terserang penyakit. Kekebalan tubuh menurun, meningkatnya resiko kanker dan serangan jantung.
Menolak memaafkan membuat kita terasing bukan hanya dari orang yang telah menyakiti Anda namun juga dari orang-orang lain yang tidak bersalah. Luka yang kita biarkan terus mengeluarkan darah perlahan-lahan menodai semua benda yang kita pegang. Pilihan untuk tidak memaafkan hanya menawarkan balutan palsu atas luka tersebut. Infeksi kemudian menyerang luka itu. Ini membuat kita tidak mampu membuka diri bahkan kepada orang yang ingin menyembuhkan luka itu.
Melanjutkan hidup ini tidak dapat dilakukan jika luka itu tidak diobati. Kita harus rela menanggalkan harga diri, berani malu, dan berhenti menyalahkan orang lain. Kita harus memaafkan karena sejatinya itu adalah bentuk perdamaian diri kita sendiri. Luka itu harus diobati agar hidup kita dapat berjalan dengan bahagia. Tiada rasa sakit hati. Tiada dendam. Yang ada hanya kedamaian.
Banyak dari kita telah mengalami rasa sakit hati dan kebencian. Menolak memaafkan terlihat menunjukkan keberanian dan kebijaksanaan–kekuatan kita, kehormatan diri kita, dan hak atas sebuah keadilan. Namun, sesungguhnya menolak memaafkan hanya memberikan “obat luka atau balutan semu” untuk luka-luka hati kita. Ia memberikan kekuatan dan perlindungan, namun tidak sungguh-sungguh menyembuhkan dan membuat kita lebih kuat.
Akhirnya, tidak memaafkan hanyalah sebuah kekuatan negatif, sebuah jalan yang tidak terikat dengan kehidupan. Terbatas. Sempit. Dan hanyalah sebuah respon buruk atas kebencian dan rasa malu yang menjauhkan kita dari sebuah keutuhan dan kebahagiaan dalam hidup.