Perjumpaan Injil dengan Suku Batak
Banyak buku yang telah saya baca mengenai sejarah Injil dengan suku Batak (pengkristenan). Namun, sangat sedikit tulisan yang saya temui di internet mengenai hal ini. Saya ingin berbagi sejarah dan pengetahuan kepada para generasi muda suku Batak, mengenai dimulainya kemajuan suku Batak–tepat setelah terjadinya perjumpaan Injil dengan Suku Batak.
Mengenal Suku Batak
Suku Batak yang berjumlah kira-kira 2 juta dan hidup di daerah Danau Toba di sebelah utara Sumatera, termasuk ke dalam lapisan penduduk Indonesia purba. Memang, di masa milenium ini, Suku Batak telah berjumlah lebih dari 4 juta orang dan menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, dan tidak terfokus hanya di daerah Sumatera Utara. Orang Batak Toba dan Angkola hidup di sebelah selatan Danau Toba. Di sebelah utara, orang Batak Dairi atau Pakpak dan orang Batak Karo. Di sebelah timur, orang Batak Simalungun. Ada tiga ciri bersama yang dimiliki oleh semua orang Batak:
Susunan genealogisnya dilakukan dengan marga, yakni suku yang patrilineal (keturunan mengikuti garis bapa atau laki-laki) dan exogam (kawin dengan luar marga). Agama suku yang terdiri dari pemujaan nenek moyak dan penyembahan roh-roh. Pengaruh kebudayaan India, yang mungkin sudah mulai timbul lebih dari seribu tahun sebelumnya. Tata cara bersawah, aksara (sistem tulis) berasal dari perjumpaan dengan kebudayaan India. Pengislaman daerah Sumatera pada abad 13 dan 14 tidak menyentuh orang Batak, tetapi memutuskan pengaruh kebudayaan India. Inilah yang membuat orang Batak terkurung sampai abad ke 17 dan 18. Barulah pekabaran Injil dan kegiatan pemerintah Kolonial Belanda membuat orang Batak perlahan mengenal dunia di sekitarnya.
Sewaktu terjadi perjumpaan injil dengan suku Batak (pengkristenan), yang dimulai dari tahun 1861, orang Batak mulai muncul sebagai golongan yang maju. Jumlah mereka saat itu bertambah besar secara signifikan karena adanya zending di bidang kesehatan. Pendidikan juga menjadi kunci kemajuan orang Batak karena para zending mendirikan lembaga-lembaga pendidikan. Dapat dikatakan bahwa perjumpaan Injil dengan Suku Batak telah membawa pengaruh yang amat baik dalam kehidupan orang Batak itu sendiri.
Lahan-lahan persawahan baru di daerah suku ternyata sudah sempit, dan memaksa orang Batak untuk merantau ke daerah-daerah lain di Sumatera. Ada yang ke daerah pertanian dan perkebunan di antara Medan dan Pematang Siantar. Inilah yang menarik orang Batak dari pedalaman dan membuat mereka mulai berinteraksi dengan dunia luar. Namun, rasa kebersamaan sebagai sesama orang Batak yang kuat menyebabkan mereka tetap dapat mendirikan jemaat-jemaat mereka sendiri dalam wilayah baru tersebut. Jemaat-jemaat di sini dapat diasosiasikan sebagai perkumpulan atau persatuan (parsadaan) yang banyak kita temui di daerah rantau.
Sejarah Perjumpaan Injil dengan Suku Batak
Sejarah perjumpaan Injil dengan Suku Batak dibagi dalam beberapa tahap:
1861-1881: peletakan dasar-dasar pertama di lembah Silindung di sebelah selatan Danau Toba oleh Nommensen dan Johannsen. Dengan disokong oleh Raja Pontas Lumbantobing, juga penerjemahan kitab Perjanjian Baru tahun 1878 dan Katekismus Kecil tahun 1874, pengkristenan mulai berkembang pesar dari tahun 1881.
1881-1901: Nommensen memindahkan tempat kediamannya ke sebelah utara Danau Toba dan merencanakan memimpin sendiri pekerjaan pada tahap ini. Ia mendirikan jemaat dalam wilayah-wilayah yang semakin luas, yang ditandai dengan pendirian gereja suku yaitu Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Tahun 1885, pendeta-pendeta pertama ditahbiskan, dan sampai dengan tahun 1901 jumlah pendeta yang sudah ditahbiskan mencapai angka 48.000 orang.
1901-1918: Tahap ketiga ini masih diprakarsai oleh Nommensen, namun proses pengkristenan di daerah Batak-Simalungun tidak berjalan sesistematis tahap sebelumnya. Tahun 1940, orang Batak Simalungun baru berhasil dikristenkan hingga tahun 1963 mereka memisahkan diri dari Gereja HKBP dan membentuk Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) tahun 1963. Tahun 1918, Nommensen meninggal dan mengakhiri tahap ketiga ini.
1918-1940: Pada tahap ini, J. Warneck menjadi Ephorus. Ia membuat gereja Batak mandiri secara yuridis dengan suatu tata gereja yang baru. Tahun 1940, Gereja Batak berhasil mandiri dalam arti sesungguhnya ketika melalui Sinode memilih seorang Pendeta Batak, yaitu K. Sirait menjadi ketuanya.
1940-1954: Pada masa penjajahan Jepang ini menjadi masa-masa yang sukar bagi awal mula pendirian Gereja Batak tanpa bantuan luar negeri. Namun, semua kesukaran itu dapat dilalui dengan ditandai banyaknya pendeta yang dapat melanjutkan pendidikan. Selain itu, Gereja Batak juga bergabung dan mendirikan Dewan Gereja-Gereja se-Dunia di tahun 1948. Selain itu, Gereja Batak juga memiliki suatu Pengakuan Iman Rasuli sendiri di tahun 1951 dan masuk ke Federasi Gereja Lutheran se-dunia di tahun 1952.
1954-sekarang: Yaitu masa terakhir yang ditandai dengan didirikannya Universitas Nommensen di tahun 1954 dengan 3000 orang mahasiswa hingga tahun 1971. Dan pada tahun 1962, Gereja memulai suatu tata gereja baru dengan dihapuskannya sinode distrik. Usaha pendidikan, kesehatan, dan penginjilan terus dilakukan kepada orang-orang Jawa dan Sakai di Riau dan Malaysia. Di awal 1960-an, jumlah anggota Gereja Batak mencapai 900.000 anggota dan terus berkembang menjadi Gereja Protestan dengan jemaat terbesar di Asia Tenggara.
Sumber Gambar : http://alternativehomestoday.com