Pesan Terakhir Ayah
Aku tidak tahu, mengapa hari ini aku dipanggil menghadap ayah. Aku paham bahwa ayah sudah sering sakit-sakitan, tapi mengapa bukan tabib yang dipanggil? Aku berjalan masuk ke kamar ayah, dan melihat dia sedang berbaring di tempat tidurnya. Ayah melihat aku sejenak dan dengan sekuat tenaga, ayah bangun dan duduk di tempat tidur. Ayah berkata kepadaku.
“Dan engkau, anakku Salomo, kenallah Allahnya ayahmu dan beribadahlah kepada-Nya dengan tulus ikhlas dan dengan rela hati, sebab Tuhan menyelidiki segala hati dan mengerti segala niat dan cita-cita. Jika Engkau mencari Dia, maka Ia akan berkenan ditemui olehmu, tetapi jika engkau meninggalkan Dia maka ia akan membuang engkau untuk selama-lamanya. Camkanlah sekarang, sebab TUHAN telah memilih engkau untuk mendirikan sebuah rumah menjadi tempat kudus. Kuatkanlah hatimu dan lakukanlah itu.”
Ya, itulah pesan terakhir ayahku, Daud kepadaku, anaknya yang masih muda dan kurang pengalaman, Salomo. Dalam pesannya, ayah mengungkapkan bahwa selanjutnya, aku yang akan memerintah, menggantikan dirinya sebagai raja Israel. Aku sendiri sangat kaget dan bingung. Apakah mungkin aku bisa memimpin suatu bangsa yang sangat besar ini? Apakah aku sanggup memimpin bangsa ini sesuai dengan ketetapan dan perintah Tuhan? Apakah aku sanggup mengalahkan musuh-musuhku? Apakah aku sanggup membangun Bait Suci untuk TUHAN ALLAH? Ah, semua pertanyaan itu memenuhi pikiranku. Tapi aku jadi ingat pesan terakhir ayahku. PesanĀ mengenai kesuksesan yang sebenarnya.
Aku harus beribadah sepenuh hati dan jiwa kepada TUHAN ALLAH. Aku sama sekali tidak tahu masa depan, apa yang akan terjadi esok, tahun depan, dan tahun-tahun berikutnya. Tapi satu hal yang aku tahu, kalau aku beribadah kepada Tuhan dengan tulus ikhlas dan dengan rela hati, Tuhan akan berkenan ditemui. Ya, TUHAN Semesta Alam berkenan ditemui jika aku bersungguh-sungguh beribadah kepada-Nya. Sungguh suatu karunia yang besar sekali untukku. Di saat aku bingung, cemas, kuatir, dan takut, tidak ada orang yang mengerti dan peduli, hanya Tuhanlah tempatku berseru dan mengadu. Dan lihat! TUHAN ALLAH berkenan ditemui. Ya, seumur hidupku aku akan beribadah kepada Tuhan.
Sekali-kali aku tidak akan meninggalkan Tuhan, kataku dalam hati. Tuhan sudah berkenan untuk ditemui, mengapa aku membuang kesempatan dan menyia-nyiakan kebaikan Tuhan itu? Meskipun akan banyak pencobaan dan masalah yang menghadang, aku akan senantiasa bersekutu dan beribadah kepadanya. Tidak ingin aku berpaling atau meninggalkan Tuhan. Aku tidak ingin berpisah dari kasih TUHAN ALLAH. Aku tidak ingin melupakan segala kebaikannya. Aku tidak ingin dibuang untuk selama-lamanya.
Pesan terakhir ayah: Aku harus mendirikan Bait Suci untuk TUHAN ALLAH. Tapi siapakah yang mampu mendirikan suatu rumah bagi Dia, sedangkan langit, bahkan langit yang mengatasi segala langit pun tidak dapat memuat Dia? Dan siapakah aku ini, sehingga aku hendak mendirikan suatu rumah bagi Dia, kecuali sebagai tempat untuk membakar korban di hadapan-Nya? Ya, TUHAN ALLAH begitu besar, begitu perkasa, begitu mulia. Siapa aku ini? Sehingga diberikan hak dan kesempatan untuk mendirikan rumah untuk-Nya. Aku tidak mengetahui jawabannya. Satu hal yang harus kulakukan adalah bersyukur dan melakukan pekerjaan ini dengan segenap kekuatanku. Aku mau mendirikan Bait Suci. Dan terlebih lagi, aku mau diriku ini menjadi bait untuk Allah.
Biarlah Tuhan diam di dalam Bait Suci ini, dan terus-menerus bersama kami, segenap umat Israel. Biarlah Tuhan memakai aku sebagai alat-Nya, untuk memerintah bangsa. Biarlah Tuhan diam bersama kami. Dan terlebih lagi, biarlah Tuhan diam di dalam hidupku sepanjang umurku.
(Disarikan dari 1 Tawarikh 28: 9-10, 2 Tawarikh 2: 5-6, 2 Tawarikh 6: 12-42)