Saat Hidup Seakan Seperti Padang Gurun
Paling tidak sejak saat surat kepada orang Ibrani, padang gurun telah dipakai dalam tulisan Kristen sebagai gambaran untuk sisi gelap perjalanan rohani. Gambaran dimana tidak ada harapan dan jalan keluar, hanya ada siksaan dan pencobaan yang tiada habisnya.
Padang gurun bukan sekedar suatu wilayah yang terpaksa harus dilalui dalam perjalanan ziarah karena kemalangan. Padang gurun adalah tempat di mana kita harus belajar hal-hal baru tentang diri kita dan tentang Allah.
Kehidupan seperti Padang Gurun
Terkadang pertanyaan tepat yang harus ditanyakan ketika kita mendapatkan diri kita berada di padang gurun, bukanlah “Mengapa?” atau “Mengapa aku?” – pertanyaan-pertanyaan yang kita tahu kemungkinan besar tidak berjawab, mungkin untuk masa yang lama. Juga bukan bertanya “Kapan?” – kapankah semua ini akan berlalu, supaya aku boleh kembali ke situasi normal?
Pertanyaan tepat yang harus ditanyakan kemungkinan adalah “Apa?” Apa yang harus kulakukan dari semua ini? Apa yang dapat kulakukan dengannya? Dan “Siapa?” Siapakah dari diriku yang kutemukan dalam padang gurun ini? Dan, bahkan lebih penting lagi, siapakah Allah yang kutemukan?
Kebanyakan kebudayaan kita didesain untuk mencegah kita dari menanyakan pertanyaan-pertanyaan tadi. Kecepatan kita hidup, kebisingan yang mengitari kita, tugas-tugas yang harus kita selesaikan, semua ini berdampak mencegah kita untuk sesaat-dua saat memeriksa diri, bertanya siapakah kita, siapakah Allah dan adakah sesuatu yang mungkin menyelinap antara Ia dan saya. Terkadang padang gurun adalah cara Allah membersihkan kita dari suara-suara yang mengitari kita dan dari berbagai kebingungan baik yang membahagiakan atau yang tidak membahagiakan, supaya kita dapat menghadapi, sebelum terlalu lambat, pertanyaan yang kita tahu di dasar hati kita, harus benar-benar kita hadapi.
Barangkali, inilah alasan mengapa di akhir pembahasan panjang tentang pengembaraan umat Allah di padang gurun, surat Ibrani pasal 4 memperingatkan bahwa di hadapan Allah tidak ada makhluk yang tersembunyi: semuanya telanjang dan terbuka di depan mata Dia yang kepada-Nya kita harus berurusan. Dan di bawah terang inilah penulisnya terus menerus menunjuk kepada Yesus yang telah ada dalam padang gurun mendahului kita, dan yang kini menyertai kita untuk menghibur ketika kita mendapatkan diri kita ada di sana.
Biarpun kita berada di padang gurun kehidupan, lapar, haus, tersiksa, dan merasa penderitaan seakan tidak ada hentinya, namun kita harus yakin dan percaya, Yesus tetap ada di samping kita, menjaga dan menyertai senantiasa, meskipun di keadaan tersulit sekalipun.
Sumber Gambar : BlogSpot