Sebuah Renungan Tentang Kematian
Hari sabtu kemarin, seorang sahabat saya harus kehilangan ibunya. Bisa dibilang cukup tiba-tiba, karena hari minggu kemarin mereka masih pergi ke gereja bersama. Jumat malam, tiba-tiba kondisi ibunya drop. Setelah dilarikan ke beberapa rumah sakit, akhirnya pada sabtu siang, ibunya dipanggil Tuhan. Saya mendapatkan kabarnya semenjak sabtu pagi melalui informasi yang beredar di grup Whatsapp (WA). Kesedihan begitu terlihat di wajahnya saat saya datang melayat ke rumah duka malam harinya. Sang ibu sudah terbujur kaku di dalam peti. Begitu cantik dengan pakaian yang digunakannya saat sahabat saya ini menikah bulan November kemarin.
Kematian memang adalah sebuah keniscayaan kita sebagai seorang manusia. Takdir. Suatu hari nanti, entah cepat atau lambat, kita semua akan meninggal dan kembali kepada Pencipta kita. Kematian juga adalah suatu peristiwa yang secara psikologis menyedihkan, di mana seseorang “hilang” selamanya dari kehidupan kita. Yang biasanya ketemu setiap hari, makan bersama, berbincang dan tertawa bersama kini telah tiada. Tempat tidurnya kini kosong. Gelas favoritnya kini tidak ada lagi yang memakai. Saat pulang kerja, ia tidak ada lagi di kursi favoritnya. Tidak ada lagi senyum dan pelukan yang selalu menyambut dan menghangatkan kita.
Oleh karena itu, salah sebenarnya jika kita menganggap bahwa kematian tidak boleh membuat kita bersedih. Bersedih itu adalah hal yang alami saat dihadapkan pada kematian. Orang yang tidak bersedih bisa jadi memendam kesedihan, dan malah bisa berakibat buruk di masa yang akan datang. Namun, sebagai orang percaya, kita tidak boleh bersedih terus menerus. Di dalam Kristus, kita percaya, bahwa kematian itu hanyalah sementara. Orang yang kita kasihi sudah bersama dengan Tuhan di sorga. Dan sabtu malam itu, saya pribadi diingatkan, bahwa sesungguhnya kematian tidak hanya bicara melulu soal orang yang telah mendahului kita. Kematian juga mengingatkan kita akan kehidupan yang kita jalani sekarang. Apakah kita setia? Apakah kita hidup benar? Apakah kita terus berkomitmen mengikuti Yesus?
Sebuah Renungan Tentang Kematian
Dan aku mendengar suara dari sorga berkata: Tuliskan: “Berbahagialah orang-orang mati yang mati dalam Tuhan, sejak sekarang ini.” “Sungguh,” kata Roh, “supaya mereka boleh beristirahat dari jerih lelah mereka, karena segala perbuatan mereka menyertai mereka.” Wahyu 14:13.
Mengapa orang yang mati dalam Tuhan disebut berbahagia? Alasan pertama adalah karena “mereka boleh beristirahat dari jerih lelah mereka.” Kalimat ini menunjukkan bahwa kehidupan orang percaya itu tidak pernah lepas dari jerih lelah. Jerih lelah itu mungkin diakibatkan karena perjuangan menghadapi ujian atau pencobaan iman. Jerih lelah juga bicara mengenai seluruh perjuangan yang kita lakukan selama hidup. Kita bekerja keras, belajar, membesarkan anak, bahkan ada yang harus mengidap penyakit. Kehidupan orang percaya bukanlah kehidupan yang santai dan tidak mau menuntut diri, melainkan kehidupan yang mau berjuang untuk taat, setia dan benar sampai akhir. Di akhir kehidupan ini, Tuhan mengijinkan kita untuk berhenti dari perjuangan kita di dunia.
Alasan kedua adalah karena “perbuatan mereka menyertai mereka.” Tidak ada perbuatan baik yang dilakukan oleh orang percaya yang akan dilupakan oleh Allah. Segala jerih payah kita di dalam Tuhan tidak sia-sia. Ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa selama kita hidup di dunia ini, kita perlu melakukan hal yang baik kepada sesama kita, kita perlu melayani dan menyenangkan hati Tuhan. Dengan demikian kematian kita kelak akan merupakan kematian yang merupakan kebahagiaan bagi kita. Kematian akan menjadi sebuah keuntungan apabila selama kita hidup kita telah hidup bagi Kristus, seperti yang dikatakan oleh Paulus, “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan” (Filipi 1:21).