Setia Sampai Mati
“Hendaklah engkau setia sampai mati, dan Aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan.“ Wahyu 2:10b
Bicara soal setia berarti bicara soal berpegang atau melakukan suatu hal dalam rentang waktu tertentu. Konstan dan tidak berubah. Dan disadari atau tidak, semakin hari kita semakin sulit menemukan orang-orang yang setia. Cari orang yang pintar? Wuh, banyak baaaanyaaak. Setiap hari ada puluhan orang pintar yang berada di sekitar kita. Orang yang cantik? Banyak, lebih banyak lagi—malah berseliweran. Tetapi orang yang setia? Susah didapatkan. Susah ditemukan. Ini fakta. Perusahaan pada masa kini berlomba-lomba mengembangkan sistem penerimaan pegawainya. Mengapa? Mereka memang butuh orang-orang pintar dan terampil, tetapi jauh lebih butuh orang-orang yang setia. Pria dan wanita juga mencari orang-orang yang setia menjadi pasangannya. Buat apa mapan atau pintar tapi gak setia? Cuma bikin sakit hati, bro!
Setia Sampai Mati?
Nah, nah, nyatanya gak hanya perusahaan atau pasangan saja yang mencari orang yang setia. Tuhan juga mencari orang-orang yang setia pada-Nya. Kalau menurut KBBI, setia berarti berpegang teguh, patuh, atau taat, tetap dan teguh hati. Tuhan mencari orang-orang yang tetap berpegang teguh pada ajaran dan yang melakukan perintah-Nya. Mau ada banyak halangan dan masalah—saya tetap ikut Tuhan Yesus. Saya tetap setia pada-Nya. Benar bukan?
Ayat tema jumatan kali ini merupakan salah satu surat kepada tujuh jemaat—jemaat Smirna. Surat-surat Yohanes ini berisi nasehat kepada para jemaat. Namun, ada sesuatu yang menarik dalam surat kepada jemaat Smirna tersebut. “Hendaklah engkau setia sampai mati, dan Aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan” (10b). Kata “setia” diikuti dengan kata “sampai mati”, yang artinya setia memiliki dimensi waktu selama kita hidup. Sepanjang hidup. Kesetiaan itu baru akan teruji ketika kita mati. Kita tidak dapat dikatakan “setia” pada pertengahan hidup kita atau tiga perempat hidup kita. Kita hanya bisa tahu pada akhirnya: “Apakah saya tetap setia?”
Weits, kita tidak punya hak untuk menjawabnya, karena kesetiaan kita hanya bisa kita lihat pada akhirnya, bukan? Tokh, hanya Tuhan yang dapat menilai kesetiaan kita. Bagian kita kini, adalah dengan belajar untuk setia. Belajar untuk menjadi orang yang setia. Jika Tuhan saja setia (1 Kor 1:9), masa sih kita tidak bisa setia? Jika anjing saja bisa setia kepada tuannya, bukankah kita juga seharusnya bisa lebih setia kepada Tuhan kita?
Ijinkan saya menutupnya dengan sebuah ayat favorit dari sahabat saya, “Banyak orang menyebut diri baik hati, tetapi orang yang setia, siapakah menemukannya?” (Amsal 20:6)
Setialah, setialah, setia sampai mati.